Salju

Daun Berjatuhan

Selamat Datang

Selamat Datang di Danny's Blog. Semoga bermanfaat......

Like

Tuesday, November 25, 2014

HAKIKAT AMANAH



BAB III

AMANAH

 

A.    Pengertian Amanah
Pengertian amanah menurut arti bahasa ialah ketulusan hati, kepercayaan (tsiqah), atau kejujuran. Amanah merupakan kebalikan dari khianat.Yang dimaksud dengan amanah di sini adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tutus hati, dan jujur dalam melaksanakansesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban. Pelaksana amanat dengan baik disebut al-amin yang berarti dapat dipercaya, jujur, setia, dan aman. [1]
Secara syar’i, amanah bermakna  menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah SWT..: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (Terjemahan QS. An-Nisa: 58).
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niacaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik­-baiknya. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Saw. dijuluki oleh penduduk Makkah dengan gelar Al-Amin, yang artinya tepercaya, jauh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Makkah mempercayainya, karena beliau orang yang amanah.
Mustahil Nabi Muhammad Saw. berkhianat terhadap orang yang memberinya amanah. Buktinya, ketika beliau ditawari kerajaan, harta, dan wanita oleh kaum Quraiay agar meninggalkan tugas menyiarkan agama Islam, beliau menjawab, “Demi Allah, wahai Paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas suciku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya” Meskipun kaum kafir Quraiay mengancam membunuh Nabi Muhammad Saw., namun beliau tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang diembannya.[2]
Orang yang berakhlak amanah adalah orang selalu memelihara hak-hak Allah dan hak-hak manusia yang ada pada dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan menyia-nyiakan atau berkhianat terhadap tugas yang diembannya, baik tugas ibadah maupun tugas muamalah.[3]
B.       Ruang Lingkup Amanah
Amanah adalah  kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.
Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan Allah SWT.. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” ( terjemahan QS.Al-Ahzab :72)
Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.
Ada beberapa macam amanah, yaitu :
Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah SWT.. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Terjemahan QS. Al-A’raf: 172)
Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.
Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah SWT.. telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)
Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)
Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (Terjemahan QS.An-Nahl: 125)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)
Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah SWT.. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah SWT.. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Terjemahan QS. Asy-Syura: 13)
Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (Terjemahan QS. At-Taubah: 122)
Menurut K.H.M. Ali Usman Amanah itu terbagi kepada 4 bagian antara lain :
1.      Ilmu pengetahuan yang Allah berikan kepada kita adalah amanah. Apakah kita telah tunaikan haknya yakni dimanfaatkan untuk diamalkan kepada murid, kepada orang lain atau untuk kepentingan lain.
2.      Pekerjaan atau tempat usaha kita dalam memperoleh rezki, itu amanah Allah. Apakah sudah kita laksanakan atau kerjakan sebagaimana mestinya ? Bila kita telah laksanakan sebaik-baiknya berarti kita telah memegang amanah, namun bila kita sia-siakan berarti kita tidak memegang amanah (khianat).
3.      Istri atau suami yang dijodohkan Allah kepada kita adalah amanah. Apakah kita telah tunaikan hak dan kewajibannya, baik mengenai nafkah dan kewajiban rumah tangga, baik tentang aural maupun tentang hal lainnya.
4.      Anak-anak yang telah dikaruniakan Allah 'Azza Wa jalla kepada kita. Apakah mereka telah diajari  dan didik mengenai khaliqnya, memahami agama dan mengamal­kannya? Bila anak telah dipenuhi kebutuhannya, di­berikan kasih sayang, diperhatikan tentang ketaatannya beragama, diberikan pendidikan sebaik-baiknya berarti kita telah tunaikan amanah itu. Sebaliknya bila semua itu tidak dilaksanakan atau disia-siakan berarti kita telah menyia-nyiakan amanah.
5.      Rumah kediaman, pakaian yang dikaruniakan Allah kepada kita adalah amanah. Apakah telah kita tunaikan kewajiban kita terhadapnya, pemeliharaannya, kebersihannya, menjauhi dari haramnya (suara murni dan emas bagi kaum pria atau yang didapat dari jalan haram)?
6.      Harta benda dan segala yang dikaruniakan Allah kepada kita itu adalah amanah. Bila kita telah pergunakan sebaik-baiknya dan telah kita syukuri dengan mengeluarkan zakatnya, berarti kita telah melaksanakan amanah itu dengan baik, sebaliknya bila kita tidak pergunakan dengan baik dan tidak disyukuri (dikeluar­kan zakatnya) berarti, kita telah menyia-nyiakan amanah.[4]
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu, rahasia, atau lainnya yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Sebagai realisasi akhlaqul karimah adalah hartawan hendaknya memberikan hak orang lain yang dipercayakan kepadanya, penuh tanggung jawab ilmuwan hendaknya memberikan ilmunya kepada orang yang memerlukan. orang yang diberi rahasia hendaknya menyimpan, memelihara rahasia itu sesuai dengan kehendak yang mempercayakan kepadanya pemerintah hendaknya berlaku dan bertindak sesuai dengan tugas kewajibannya; seorang mukmin hendaknya berlaku amanah, jujur dengan segala anugerah Allah  kepada dirinya, menjaga anggota lahir dan anggota batin dari segala maksiat dan wajib mengerjakan perintah-perintah Allah. [5]
Jadi ruang lingkup amanah luas sekali. Amanah meliputi agama, kehormatan, harta, badan, nyawa, pengetahuan, ilmu, kekuasaan, wasiat, persaksian, pengadilan, pencatatan, penyampaian ucapan, rahasia, surat-surat, pendengaran, penglihatan, indera-indera yang lain, dan sebagainya. Segala sesuatu yang menjadi milik Allah yang ada pada diri kita adalah amanah.

C.      Keutamaan Amanah
Banyak keutaaman yang diberikan allah kepada orang yang amanah, diantaranya adalah :
1.      Jalan Keluar dari Kesulitan
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits tentang kisah tiga orang yang masuk ke dalam gua. Saat mereka berada di dalam gua sebongkah batu besar menggelinding dan menutupi pintu gua. Masing-masing mereka bertawassul kepada Allah dengan amal masing-masing supaya batu besar itu bergeser dan mereka bisa keluar darinya.
Orang pertama bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Orang kedua bertawassul dengan khasyyahnya kepada Allah. Dan orang ketiga bertawassul dengan amanahnya. Orang ketiga itu berkata, “Ya Allah, aku pernah mempekerjakan beberapa orang dan semua sudah saya beri upah, kecuali satu orang. Dia pergi dan meninggalkan haknya kepadaku. Upahnya itu aku kembangkan sampai berlipat-lipat. Setelah sekian waktu berlalu, orang itu datang kepadaku. Katanya, ‘Wahai hamba Allah, berikan upahku kepadaku!’ Maka kujawab, `Semua yang kamu lihat ini adalah milikmu. Unta, sapi, kambing, dan budak ini, semuanya milikmu.’ Orang itu berkata, `Wahai hamba Allah, jangan mengolok-olokku!’ Kukatakan, Aku tidak mengolok-olokmu!’ Lantas orang itu mengambil semuanya, menggiring semuanya, dan tidak meninggalkan barang sesuatu pun darinya. Ya Allah, jika aku melakukannya karena mengharapkan wajah­Mu, berikanlah jalan keluar dari kesulitan kami ini.” Tiba-tiba batu besar itu meledak, dan mereka pun dapat keluar sambil berjalan.”

2.      Amanah Menyuburkan Barokah, Khianat Menghilang­kan Barokah
Khianat bukan saja dapat menghilangkan barokah, bahkan itu dapat menghilangkan segala kebaikan. Amanah dapat menyuburkan barokah dan menambah kebaikan dalam rezeki. Allah berfirman (dalam sebuah hadits qudsi):
“Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu darinya tidak mengkhianati sahabatnya. jika salah satu berkhianat, maka Aku keluar dari antara keduanya.”[6]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Terjemahan QS.Al-Anfal : 27-28)
Jika amanah adalah semua beban taklif, maka ketahuilah wahai saudaraku tercinta, jika kamu meninggalkan shalat, maka kamu telah mengkhianati amanah. Jika kamu tidak mengeluarkan zakat hartamu, maka kamu telah mengkhianati amanah. Ketahuilah wahai saudariku, jika kamu tidak mengenakan hijab /busana muslimah, maka kamu telah mengkhianati amanah.
Dan hendaklah kita semua tahu bahwa semua nikmat yang dianugerahkan oleh Allah adalah amanah.Pandangan adalah amanah, pendengaran adalah amanah, tangan adalah amanah dan seterusnya. Maka, marilah kita bersungguh-sungguh menunaikan amanah di dalam semua yang Allah anugerahkan kepada kita.[7]

3.      Amanah dan (Menjalin Tali) Rahim di Dua Sisi Jabatan Shirath
Rasulullah mengabarkan bahwa pada hari Kiamat, amanah dan menjalin hubungan rahim akan berdiri di dua sisi jembatan Shirath saat orang-orang lewat di atasnya. Shirath yang dipancangkan di atas neraka Jahannam. Sungguh, itu adalah saat-saat yang paling berat. Siapa pun yang menyia-nyiakan amanah dan memutuskan jalinan tali rahim, dia tidak akan dapat berdiri kokoh di atas Shirath. Sedangkan orang yang menyambung tali rahim dan menunaikan amanah, sungguh Allah akan mengokohkan kakinya di atas Shirath. Hal ini menunjukkan betapa agungnya perkara amanah dan menjalin tali rahim, ikatan kekeluargaan.[8]

D.    Bahayanya Tidak Amanah/Khianat
Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah semoga Allah meridhainya, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)
Amanah menurut bahasa (etimologi) ialah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan (istiqomah) atau kejujuran. Kebalikannya ialah khianat. Khianat adalah salah satu gejala munafik. Betapa pentingnya sifat dan sikap amanah ini dipertahankan sebagai akhlaqul karimah dalam masyarakat, jika sifat dan sikap itu hilang dari tatanan sosial umat Islam, maka kehancuranlah yang bakal terjadi bagi umat itu. [9]
Demikianlah misalnya denganjanji yang kita ucapkan, hal itu mengandung tanggung jawab. Janji yang tidak kita penuhi, akan membawa suatu akibat. Dalam pandangan Allah, orang yang ingkar janji termasuk orang yang berdosa. Adapun dalam pandangan manusia, orang yang ingkar janji akan dianggap remeh dan tidak dapat dipercaya. Akhirnya, orang yang bersangkutan merasa canggung bergaul, rendah diri, gelisah, dan tidak tenang. Janji yang diadakan dengan manusia, apabila tidak ditepatinya mungkin akan lepas dari tuntutan manusia tersebut, namun Allah akan tetap meminta pertanggungjawaban dari orang tersebut[10].
Karena tindakannya yang licik, sifat khianat untuk sementara waktu tidak diketahui manusia, tetapi Allah Maha Mengetahui. Ia tidak Berani bersumpah palsu untuk memperkuat dan membenarkan keterangannya bila ia tertuduh, karena ia tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Dia tidak memperoleh keuntungan dari tindakannya yang tidak jujur itu, sifat senang mengorbankan teman sendiri, jadi musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan, menolak kawan seining dan membahayakan keselamatan dirinya. Sifat amanah membawa kelapangan rezeki, sedangkan khianat menimbulkan kefakiran. Pengkhianat sebenarnya mencoreng keningnya sendiri dengan arang yang tidak mungkin hilang untuk selama-lamanya, jauh dari teman dan sahabat, terisolasi dari pergaulan, masyarakat memandang dengan sebelah mata dan dia kehilangan kepercayaan.[11]

E.       Urgensi Amanah
Jujur dan amanah adalah dua sifat yang paling agung pada diri Nabi dan rasul. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas katanya, “Abu Sufyan menyampaikan kepadaku bahwa Heraclius berkata kepadanya, ‘Aku bertanya kepadamu, apa saja yang diperintahkannya?’ Aku pun menjawab bahwa dia (Muhammad memerintahkan shalat, jujur, menjaga kehormatan, memenuhi janji, dan menunaikan amanah. ‘Itu adalah sifat seorang nabi,’ kata Heraclius.”
Nabi SAW tak pernah lelah menganjurkan umat untuk selalu beramanah. Beliau berjanji akan membawa naik ruh mereka ke surga Ar-Rahman kelak. Beliau bersabda, “Jaminkan untukku enam perkara dari kalian, niscaya aku jaminkan surga untuk kalian, di antara keenam perkara itu adalah hendaklah kamu menunaikan amanah jika kamu  mendapatkannya.”“
Nabi  SAW tetap memerintahkan kita untuk menunaikan amanah meskipun orang-orang yang ada di sekitar kita tidak ada yang menunaikan amanah lagi. Beliau bersabda, “Tunaikan amanah kepada orang yang memberimu amanah dan janganlah kamu khianati orang yang mengkhianatimu!”[12]
Beliau juga bersabda:
لاَإِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
Tidak ada iman bagi yang tidak beramanah, dan tidak beragama bagi yang tidak (menepati) janjinya .[13]
Alangkah indahnya kekuatan saat dia dibalut dan dipercantik dengan amanah. Dan alangkah indahnya pula amanah saat dia dihiasi dengan kekuatan. Jika seorang mukmin dapat dipercaya namun tidak kuat, dia tidak akan mampu menunaikan amanah karena kelemahannya. (Yang dimaksud dengan kelemahan di sini, yang pertama adalah kelemahan akidah, barulah kemudian kelemahan­-kelemahan dalam aspek materi yang lain.) Dan alangkah buruknya manusia saat dia kuat, namun pada saat yang sama dia menjadi seorang pengkhianat... Dari sinilah Al-Qur’an datang mengumpulkan kekuatan dan amanah sekaligus. Sebab saat keduanya berkumpul pada seseorang, maka dia akan menjadi teladan agung di dalam mengernkan amanah, seperti disabdakan oleh Rasulullah.

الْمُؤْ مَنُ الْقَوِ يُّ خَيْرُ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ اضَّحِيفِ

Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin yang lemah.[14]
Dari sini dapat dipahami bahwa Sejatinya pada setiap muslim tertuntut untuk mengemban amanah besar dari agama ini. Yaitu berakhlak dengan akhlak Islam dan bermuamalah dengannya. juga, hendaknya dia meyakini bahwa dialah yang berkewajiban memikul cita-cita Islam di atas pundaknya. Sekiranya setiap muslim berpikir bahwa dirinyalah yang berkewajiban memikul cita-cita Islam di atas pundaknya, niscaya tidak akan kita lihat seseorang yang berbuat semaunya dan menyia-nyiakan amanah itu. Sebaliknya dia akan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. dan tahu bahwa Islam adalah agama yang diridhai Allah bagi manusia. Selain itu, dia juga akan merasakan dengan syahadatnya kepada agama ini bahwa dia sedang “menolong” Al-Haq.
Jika kamu `menolong’ Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Terjemahan QS.Muhammad : 7)
Maka dia pun khawatir jika Islam diserang dari depannya. Bulan, bintang, planet, angin, awan, udara,  semuanya berjalan untuk tugas masing-masing dengan izin Rabb mereka. Mereka mengerti siapa yang menciptakan mereka. Mereka tunduk kepada kehendak-Nya tanpa perlu berusaha dan berpayah­-payah. Ya, mereka telah menyatakan ketidak sanggupan untuk menanggung amanah tanggung jawab, amanah memiliki iradah, amanah pengetahuan, amanah untuk berusaha secara khusus dan yang menyatakan kesanggupannya adalah manusia. [15]
Maka manusia dapat mengenal Rabbnya dengan pengetahuan dan rasa yang dimilikinya. Dia bisa sampai kepada syariat yang berlaku untuknya dengan perenungan dan pandangannya. Dia beramal sesuai dengan syariat dengan usaha dan upayanya. Dia menaati Allah dengan iradahnya, kemauannya, dan keinginannya sendiri seiring dengan upayanya untuk menahan penyimpangan dan memerangi kecenderungan syahwatnya. Manusia dalam setiap langkahnya adalah berkehendak... mengerti... dan bebas memilih jalannya. Pun dia tahu ke mana ujung jalan yang akan dilaluinya. [16]
Iradah, pengetahuan, usaha, dan memikul tanggung jawab. Inilah, inilah keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain! Ini pulalah alasan mereka mendapatkan kemuliaan. Kemuliaan yang diumumkan oleh Allah di alam tertinggi saat mana Dia memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam. Allah juga mengumumkannya di dalam Al-Qur’an yang abadi dengan firman-Nya,
“Dan sungguh telah Kami muliakan Bani Adam.” (Terjemahan QS.Al-Isro’ : 70)
Maka dari itu, hendaklah manusia mengerti alasan dia dimuliakan di sisi Allah dan bangkit untuk mengemban amanah yang telah dipilihnya. Amanah yang saat ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, mereka semua menolaknya.
Amanah itu adalah amanah taklif. Amanah agung yang dienggani oleh langit, bumi, dan gunung-gunung, yang lantas disanggupi oleh manusia yang lemah. Jika manusia menunaikannya sebagaimana dikehendaki oleh Allah Jalla wa Ala, maka dia dinilai telah menunaikannya dan dia telah mendapatkan kemenangan dengan beroleh keridhaan Allah. Sebaliknya, jika dia meninggalkannya dan mengkhianatinya, maka dialah manusia yang selalu berbuat zhalim,, dan bodoh.[17]
Amanah taklif ini termanifestasikan di dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْخِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَحْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Terjemahan QS. Adz-DzAriydt : 56)
Sungguh, itu adalah suatu urgensitas agung yang sangat berharga. Urgensitas yang kita diciptakan oleh Allah untuknya. Oleh sebab itu kita harus mengerti satu hal dari awal hingga akhir bahwa agama ini adalah amanah, kewajiban-kewajibannya adalah amanah, semua perintah adalah amanah, dan semua larangan pun amanah. Maka wajib bagi kita untuk berusaha menunaikan amanah agama[18] ini, melingkarkannya di leher-leher kita ke mana pun dan kepada siapa pun kita menuju, supaya manusia di seluruh belahan bumi menjelma menjadi hamba-hamba Ar-Rahman. Dengan itulah arah yang dituju manusia bersesuaian dengan arah yang dituju oleh alam raga ini, sehingga manusia dapat memetik buah `ubudiyah di dunia dan di akhirat.
Semestinya kita menunaikan amanah dengan sempurna yaitu dengan menegakkan tauhid kepada Allah Azza wajala, mengamalkan semua syariat, beribadah dengan semua syiar agama, baik yang fardhu maupun yang sunnah sampai kita menclapatkan cinta dari Allah. Allah telah berfirman:
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada semua yang Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan semua yang sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendegarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku menjadi) pandangannya yang dia memandang dengannya, (Aku menjadi) tangannya yang dia menangkap dengannya, dan (Aku menjadi) kakinya yang dia berjalan dengannya. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya aku pasti memberinya. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku lindungi dia.
Kita juga berkewajiban untuk melaksanakan semua perintah Allah seraya mengucapkan, “Sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat,” sebagaimana kita mesti meninggalkan segala larangan­Nya dengan mengatakan, “Sami’na wa intdhaina, kami mendengar dan kami meninggalkannya.” Kita pun wajib berhukum kepada syariat-­Nya untuk semua urusan kita; yang besar dan yang kecil. Sebelum semua itu kita berkewajiban mengejawantahkan tauhid kepada Allah secara sempurna: kita mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shiffat. Kemudian kita membawa semuanya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi. Maka jadilah alam raga ini laksana kafilah yang berjalan di jalur yang benar menuju Allah [19]. Semuanya melantunkan dengan lisan hakiki dan lisan kondisi ­ucapan, “Dan aku bersegera kepada-Mu, wahai Rabbku! Supaya Engkau ridha (kepadaku).” (Terjemahan QS. Thaha : 84)
Marilah kita semua bersungguh-sungguh di dalam menunaikan amanah agung yang digantungkan oleh Allah di leher-leher kita dan mengikhlaskan niat karena Allah semata. Ibnu Katsir menyatakan, “Inilah sifat-sifat yang melekat pada diri para rasul (tabligh, nasihat, dan amanah).[20] Pun demikian para rasul. Mereka telah menemui kaum mereka dan mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang beramanah, dapat dipercaya, di dalam menyampaikan risalah.[21]
Orang-orang musyrik pun telah mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang jujur dan terpercaya. Beliau sendiri juga pernah bersabda tentang dirinya, “Demi Allah, aku adalah seorang yang terpercaya di langit dan terpercaya pula di muka bumi[22].
Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

D.      Menanankan Amanah Dalam Pembelajaran
Sifat amanah bisa dianalogikan dengan kompetensi pribadi dan sosial bagi guru. Dalam menjalankan tugasnya, interaksi dengan masyarakat adalah suatu keniscayaan bagi guru. Keterampilan dalam berkomunikasi, berinteraksi, bekerja sama, bergaul dan simpatik adalah bagian dari kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kemampuan tersebut memudahkan guru dalam berinteraksi dengan orang tua peserta didik. Hubungan antara sekolah dan masyarakat akan berjalan harmonia karena dijembatani oleh seorang guru yang berkompeten. Di sinilah pentingnya guru memiliki sifat amanah.
Sifat amanah juga dapat menjadi “setir” bagi seorang guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar, tanpa menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya. Selama ini, fenomena seorang guru menyalahgunakanjabatannya sangat marak terjadi. Contoh yang paling sederhana saja, seorang guru tidak disiplin masuk kelas, selalu terlambat, berbelanja saat jam sekolah, menganggap dirinya paling berkuasa, pilih kasih terhadap murid, dan yang paling menyedihkan adalah maraknya pelecehan seksual oleh guru terhadap siawi. [23] Nah, contoh­-contoh sederhana tersebut sangat marak terjadi di negeri ini. Di media-media pun, banyak memberitakan mengenai kebobrokan moral para guru. Itulah gambaran jika seorang guru tidak amanah. Maka dari itu, sifat Nabi Muhammad Saw. yang satu ini patut kita teladani dan aplikasikan dalam aktivitas sehari-hari, baik di sekolah (ketika mengajar) maupun luar sekolah.
Sifat amanah pula yang akan menguji tingkat keikhlasan dan keluhuran seorang guru dalam menjalankan kewajibannya (tugas dan fungsinya) mendidik siawa­-siswinya. Guru yang tidak ikhlas pastilah guru yang tidak amanah. Ketika sudah tidak amanah, yang rugi bukan saja para anak didiknya, tetapi diri  guru sendiri pun rugi.[24]
Bagi seorang guru, mengajar adalah amanah yang sangat mulia. Mengapa? Sebab, dengan mengajar dan mendidik, seorang guru telah mewariskan ilmu kepada peserta didik. Ilmu yang diberikan kepada anak didik itu mendapat balasan pahala yang sangat besar dari Allah SWT.. Dalam hubungannya dengan bangsa dan negara, guru memperoleh gelar yang sangat mulia, yakni pahlawan tanpa tanda jasa. Untuk itu, sekali lagi, sifat amanah wajib dimiliki oleh seorang guru.[25]
Bagaimana untuk dapat mengemban amanah. Mari perhatikan terjemahan ayat di awal surat Al-Ahzab. Surat yang menyebut tentang amanah di bagian akhirnya. Di awal surat itu Allah berfirman:

Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhhya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ikutilah apa yang diwahyukan dari Rabbmu kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan bertawakallah kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (Terjemahan QS. Al-Ahzab : 1-3)
Di sini Allah menerangkan bahwa ada empat perkara yang akan membantu seseorang dalam mengemban amanah. Empat perkara itu adalah: takwa kepada Allah, tidak menaati orang-orang kafir dan orang-orang munafik, mengikuti wahyu, dan bertawakal kepada Allah.

Cara pertama, takwa kepada Allah.
Firman Allah, “Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah!” bermakna senantiasalah bertakwa kepada Allah. Seakan-akan maknanya adalah: jika perintah ini ditujukan kepada Rasulullah,padahal beliau adalah Sayyidul Atqiya’, pemimpin orang-orang yang bertakwa, maka umat beliau lebih layak lagi untuk mendapatkan perintah ini.
Takwa, sebagaimana didefinisikan oleh Ali bin Abu Thalib­ adalah takut kepada Al-Jalil (Yang Maha-agung), beramal dengan At­-Tanzil (Al-Qur’an), ridha terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap untuk hari akhir.
Thalaq bin Habib berkata, “Takwa adalah kamu taat kepada Allah dengan berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala Allah. Juga, kamu meninggalkan maksiat kepada Allah dengan berdasarkan cahaya dari Allah dan takut kepada siksaan Allah.”[26]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih definisi takwa versi Thalaq bin Habib ini, karena definisi ini memuat dua perkara ikhlas dan mutaba’ah. Keduanya adalah syarat diterimanya amal shalih.


Cara kedua, tidak mentaati orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Nabi SAW telah menjelaskan hal itu saat beliau bersabda, “Seseorang itu tu berada di atas akhlak khalilnya. Maka, hendaklah salah seorang dari kahan melihat siapa yang menjadi khalilnya.
Itulah sebabnya setelah itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah mengetahui akibat dari mengikuti orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Allah telah menjelaskan hal itu dalam banyak ayat.
Di antaranya, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Terjemahan QS. Ali ‘Imrdn : 100- 101)
Juga firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik penolong.” (Terjemahan QS. Ali `Imrdn : 149-150)
Allah ,memerintahkan kita supaya hanya menaati perintah­Nya dan hanya mengikuti Rasul-Nya. Karena itulah di dalam ayat di atas disebutkan cara yang ketiga.

Cara ketiga, yaitu mengikuti apa yang diwahyukan dari Allah.
Satu-satunya jalan yang akan menjadikan seseorang terjauhkan dari mengikuti orang-orang kafir dan orang-orang munafik adalah dengan mengikuti Rasulullah.  Allah jalla wa Ala telah meringkaskan hal itu dalam firman-Nya, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang­-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.” (Terjemahan QS. Al-Ahzab : 6)
Sebagian ulama menyatakan bahwa ketika Allah mengetahui luapan khasyyah Nabi dan kasih sayangnya kepada umatnya, Dia menjadikan diri Nabi lebih utama dari pada diri mereka sendiri. Maknanya, keputusan Nabi berkenaan dengan urusan mereka harus didahulukan daripada keputusan mereka untuk diri mereka sendiri. Juga, pilihan Nabi untuk mereka harus didahulukan daripada pilihan mereka untuk diri mereka sendiri. Dan bahwa jalan yang dilempangkan oleh beliau lebih baik dari pada jalan yang mereka lempangkan untuk diri mereka sendiri.
Maka, tidak ada kewajiban bagi Anda selain mengikuti jalan keselamatan ini. Jalan lurus yang kelak pada hari Kiamat kita akan ditanya tentangnya.
Jalan ini tidaklah dipenuhi dengan bunga-bunga. Namun demikian, keimanan Anda kepada qadha’dan qadar akan membantu Anda untuk melewatinya. Yaitu dengan mengerti bahwa segala yang menimpa Anda bukanlah sesuatu yang salah alamat dan bahwa segala yang lupus dari Anda memang bukan bagian Anda. Selain itu hendaklah Anda mengerti bahwa sekiranya seluruh umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat bagi Anda, mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepada Anda melainkan dengan sesuatu yang suclah ditetapkan oleh Allah bagi Anda. Dan sekiranya mereka berkumpul untuk mendatangkan mudharat bagi Anda, sekali-kali mereka tidak akan dapat mendatangkan mudharat bagi Anda, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah atas Anda. Juga, hendaklah Anda yakin bahwa bagaimana pun tidak ada sesuatu pun di jagat raga ini ada melainkan dengan masyiah dan iradah Allah. Apa pun yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. [27]
Ketahuilah bahwa ketaatan kepada manusia mana pun di muka bumi ini terikat dengan dua perkara: makruf dan istitha’ah. Sedangkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah ketaatan yang mutlak sebagaiman difirmankan oleh Allah, (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, swat yang nyata.” (Terjemahan QS. Al-Ahzdb :36)
Cara kempat, bertawakkal kepada Allah.
Untuk dapat bertawakkal diperlukan beberapa perkara:
1.      Mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah adalah Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Khabir (Yang Maha Mengawasi), Al-’Alim (Yang Maha Mengetahui). Dia tidak membutuhkan makhluk mana pun; sebaliknya makhluk­-makhluklah yang membutuhkan-Nya.
2.      Beriman kepada takdir secara mantap. Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (Terjemahan QS. Al­Qamar : 49)
3.      Berusaha semampu Anda.
4.      Menjaga hati dari bergantung kepada selain Allah. Maksud saya, hendaklah Anda berusaha semampu Anda dengan syarat Anda mengerti bahwa usaha Anda masih tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak dapat mendatangkan mudharat, kecuali dengan perintah Allah.[28]
















DAFTAR PUSTAKA

Alwisral Imam Zaidallah, 30 Rahasia Kesempurnaan Akhlak Rasulullah Yang mulia, ( Jakarta ; Kalam mulia, 2011)
Didiek Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011)
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ; Amzah)
Mahmud Al Misri, Manajemen Akhlak Salaf, (Solo : Pustaka Amanah, 2007)
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung : Pustaka setia, 2008)
Sitiatava, Prinsip Mengajar Berdasar Sifat-Sifat Nabi, (Yogyakarta: Diva press, 2014)





[1] Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung : Pustaka setia, 2008), h. 225-226
[2] Sitiatava, Prinsip Mengajar Berdasar Sifat-Sifat Nabi, (Yogyakarta: Diva press, 2014), h. 82-83
[3] Didiek Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 225
[4] Alwisral Imam Zaidallah, 30 Rahasia Kesempurnaan Akhlak Rasulullah Yang mulia, (Jakarta ; Kalam mulia, 2011), h. 117-118
[5] M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ; Amzah, 2007), h. 5
[6] Mahmud Al Misri, Manajemen Akhlak Salaf, (Solo : Pustaka Amanah, 2007), h. 108-109
[7] Ibid., h. 117
[8] Ibid., h. 118
[9] M. Yatimin Abdullah, Op Cit.,  h. 43
[10] Rosihan Anwar, Op Cit., h. 229
[11] M. Yatimin Abdullah, Op Cit., h. 16
[12] Mahmud Al Misri, Op Cit., h. 94
[13] Ibid., h. 95
[14] Ibid., h. 103
[15] Ibid., h.  86-87
[16] Loc. Cit.
[17] Ibid., h. 88
[18] Ibid., h. 90
[19] Ibid., h. 91-92
[20] Ibid., h. 92
[21] Ibid., h. 93-94
[22] Ibid., h. 92
[23] Sitiatava, Op Cit., h. 83
[24] Ibid., h. 84
[25]Ibid., h. 85
[26] Mahmud Al Misri, Op. Cit., h. 123
[27] Ibid., h. 125
[28] Ibid., h. 126

No comments:

Post a Comment