BAB III
AMANAH
A.
Pengertian Amanah
Pengertian amanah menurut arti
bahasa ialah ketulusan hati, kepercayaan (tsiqah), atau kejujuran. Amanah
merupakan kebalikan dari khianat.Yang dimaksud dengan amanah di sini
adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tutus hati, dan jujur dalam
melaksanakansesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia
maupun tugas kewajiban. Pelaksana amanat dengan baik disebut al-amin yang berarti dapat dipercaya, jujur, setia, dan
aman. [1]
Secara
syar’i, amanah bermakna menunaikan apa-apa yang dititipkan atau
dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah SWT..: “Sesungguhnya
Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya;
dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian
menetapkan hukum dengan adil.” (Terjemahan QS. An-Nisa:
58).
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika
satu urusan diserahkan kepadanya, niacaya orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Saw. dijuluki oleh penduduk Makkah dengan
gelar Al-Amin, yang artinya tepercaya, jauh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk
Makkah mempercayainya, karena beliau orang yang
amanah.
Mustahil Nabi Muhammad Saw. berkhianat terhadap
orang yang memberinya amanah. Buktinya, ketika beliau ditawari kerajaan, harta,
dan wanita oleh kaum Quraiay agar meninggalkan tugas menyiarkan agama Islam,
beliau menjawab, “Demi Allah, wahai Paman, seandainya mereka dapat meletakkan
matahari di tangan
kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas suciku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah
memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya” Meskipun kaum kafir Quraiay
mengancam membunuh Nabi Muhammad Saw., namun beliau tidak gentar dan tetap
menjalankan amanah yang diembannya.[2]
Orang yang berakhlak amanah
adalah orang selalu memelihara hak-hak Allah dan hak-hak manusia yang ada pada
dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan menyia-nyiakan atau berkhianat terhadap
tugas yang diembannya, baik tugas ibadah maupun tugas muamalah.[3]
B.
Ruang Lingkup Amanah
Amanah adalah kata
yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata
amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah
adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini
diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara
manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan
keadilan dalam hukum itu merupakan salah
satu amanah besar.
Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah
saw., “Setiap
kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang
kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban
tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan
diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas
anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba
adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban
tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang
kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan Allah SWT.. berfirman: “Sesungguhnya
Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka
menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” ( terjemahan QS.Al-Ahzab :72)
Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah
bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah
adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang
diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah
amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat
kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan
menunaikannya sebagaimana mestinya.
Ada beberapa macam amanah, yaitu :
Pertama, amanah fitrah. Dalam
fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada
tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan
Allah yang berlaku di alam semesta. Allah SWT.. berfirman: “Dan
ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami
menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Terjemahan QS. Al-A’raf: 172)
Akan tetapi adanya
fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran
dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah
fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan
kebenaran.
Kedua, amanah taklif syar’i (amanah
yang diembankan oleh syari’at). Allah SWT.. telah menjadikan ketaatan terhadap
syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw.
bersabda: “Sesungguhnya
Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian
mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian
melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan
bukan karena lupa.” (hadits shahih)
Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan
Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran
Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik
maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya
tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)
Keempat, amanah dakwah. Selain
melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan
(menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa
puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk
menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam
ayat-Nya: “Serulah
ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (Terjemahan QS.An-Nahl: 125)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika
Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu
pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)
Kelima, amanah untuk mengukuhkan
kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah SWT..
dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah SWT.. menegaskan: “Allah
telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kalian berpecah-belah tentangnya.” (Terjemahan QS. Asy-Syura: 13)
Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama).
Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah
sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (Terjemahan QS. At-Taubah: 122)
Menurut K.H.M. Ali Usman Amanah itu terbagi
kepada 4 bagian antara lain :
1. Ilmu pengetahuan yang Allah berikan kepada kita
adalah amanah. Apakah kita telah tunaikan haknya yakni dimanfaatkan untuk
diamalkan kepada murid, kepada orang lain atau untuk kepentingan lain.
2. Pekerjaan atau tempat usaha kita dalam memperoleh
rezki, itu amanah Allah. Apakah sudah kita laksanakan atau kerjakan sebagaimana
mestinya ? Bila kita telah laksanakan sebaik-baiknya berarti kita telah memegang
amanah, namun bila kita sia-siakan berarti kita tidak memegang amanah
(khianat).
3. Istri atau suami yang dijodohkan Allah kepada kita
adalah amanah. Apakah kita telah tunaikan hak dan kewajibannya, baik mengenai
nafkah dan kewajiban rumah tangga, baik tentang aural maupun tentang hal
lainnya.
4. Anak-anak yang telah dikaruniakan Allah 'Azza Wa
jalla kepada kita. Apakah mereka telah diajari dan didik mengenai khaliqnya, memahami agama
dan mengamalkannya? Bila anak telah dipenuhi kebutuhannya, diberikan kasih
sayang, diperhatikan tentang ketaatannya beragama, diberikan pendidikan
sebaik-baiknya berarti kita telah tunaikan amanah itu. Sebaliknya bila semua
itu tidak dilaksanakan atau disia-siakan berarti kita telah menyia-nyiakan
amanah.
5. Rumah kediaman, pakaian yang dikaruniakan Allah
kepada kita adalah amanah. Apakah telah kita tunaikan kewajiban kita
terhadapnya, pemeliharaannya, kebersihannya, menjauhi dari haramnya (suara
murni dan emas bagi kaum pria atau yang didapat dari jalan haram)?
6. Harta benda dan segala yang dikaruniakan Allah
kepada kita itu adalah amanah. Bila kita telah pergunakan sebaik-baiknya dan
telah kita syukuri dengan mengeluarkan zakatnya, berarti kita telah
melaksanakan amanah itu dengan baik, sebaliknya bila kita tidak pergunakan
dengan baik dan tidak disyukuri (dikeluarkan zakatnya) berarti, kita telah
menyia-nyiakan amanah.[4]
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang,
baik harta, ilmu, rahasia, atau lainnya yang wajib dipelihara dan disampaikan
kepada yang berhak menerimanya. Sebagai realisasi akhlaqul karimah adalah
hartawan hendaknya memberikan hak orang lain yang dipercayakan kepadanya, penuh
tanggung jawab ilmuwan hendaknya memberikan ilmunya kepada orang yang
memerlukan. orang yang diberi rahasia hendaknya menyimpan, memelihara rahasia
itu sesuai dengan kehendak yang mempercayakan kepadanya pemerintah hendaknya
berlaku dan bertindak sesuai dengan tugas kewajibannya; seorang mukmin hendaknya berlaku amanah, jujur dengan
segala anugerah Allah kepada dirinya,
menjaga anggota lahir dan anggota batin dari segala maksiat dan wajib
mengerjakan perintah-perintah Allah. [5]
Jadi ruang lingkup amanah luas sekali.
Amanah meliputi agama, kehormatan, harta, badan, nyawa, pengetahuan, ilmu,
kekuasaan, wasiat, persaksian, pengadilan, pencatatan, penyampaian ucapan,
rahasia, surat-surat, pendengaran, penglihatan, indera-indera yang lain, dan
sebagainya. Segala sesuatu yang menjadi milik Allah yang ada pada diri kita
adalah amanah.
C. Keutamaan Amanah
Banyak keutaaman yang diberikan allah
kepada orang yang amanah, diantaranya adalah :
1. Jalan Keluar dari
Kesulitan
Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits tentang kisah tiga orang
yang masuk ke dalam gua. Saat mereka berada di dalam gua sebongkah batu besar
menggelinding dan menutupi pintu gua. Masing-masing mereka bertawassul kepada
Allah dengan amal masing-masing supaya batu besar itu
bergeser dan mereka bisa keluar darinya.
Orang
pertama bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Orang kedua
bertawassul dengan khasyyahnya kepada Allah. Dan orang ketiga bertawassul
dengan amanahnya. Orang ketiga itu berkata, “Ya Allah, aku pernah mempekerjakan
beberapa orang dan semua sudah saya beri upah, kecuali satu orang. Dia pergi
dan meninggalkan haknya kepadaku. Upahnya itu aku kembangkan sampai
berlipat-lipat. Setelah sekian waktu berlalu, orang itu datang kepadaku.
Katanya, ‘Wahai hamba Allah, berikan upahku kepadaku!’ Maka kujawab, `Semua
yang kamu lihat ini adalah milikmu. Unta, sapi, kambing, dan budak ini,
semuanya milikmu.’ Orang itu berkata, `Wahai hamba Allah, jangan
mengolok-olokku!’ Kukatakan, Aku tidak mengolok-olokmu!’ Lantas orang itu
mengambil semuanya, menggiring semuanya, dan tidak meninggalkan barang sesuatu
pun darinya. Ya Allah, jika aku melakukannya karena mengharapkan wajahMu,
berikanlah jalan keluar dari kesulitan kami ini.” Tiba-tiba batu besar itu
meledak, dan mereka pun dapat keluar sambil berjalan.”
2. Amanah Menyuburkan
Barokah, Khianat Menghilangkan Barokah
Khianat
bukan saja dapat menghilangkan barokah, bahkan itu dapat menghilangkan segala
kebaikan. Amanah dapat menyuburkan barokah dan menambah kebaikan dalam rezeki.
Allah berfirman (dalam sebuah hadits qudsi):
“Aku adalah pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat, selama salah satu darinya tidak mengkhianati sahabatnya. jika
salah satu berkhianat, maka Aku keluar dari antara keduanya.”[6]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) janganlah kamu mengkhianati
amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Terjemahan QS.Al-Anfal :
27-28)
Jika
amanah adalah semua beban taklif, maka ketahuilah wahai saudaraku tercinta,
jika kamu meninggalkan shalat, maka kamu telah mengkhianati amanah. Jika kamu
tidak mengeluarkan zakat hartamu, maka kamu telah mengkhianati amanah.
Ketahuilah wahai saudariku, jika kamu tidak mengenakan hijab /busana muslimah,
maka kamu telah mengkhianati amanah.
Dan
hendaklah kita semua tahu bahwa semua nikmat yang dianugerahkan oleh Allah
adalah amanah.Pandangan adalah amanah, pendengaran adalah amanah, tangan adalah
amanah dan seterusnya. Maka, marilah kita bersungguh-sungguh menunaikan amanah
di dalam semua yang Allah anugerahkan kepada kita.[7]
3. Amanah dan
(Menjalin Tali) Rahim di Dua Sisi Jabatan Shirath
Rasulullah
mengabarkan bahwa pada hari Kiamat, amanah dan menjalin hubungan rahim akan
berdiri di dua sisi jembatan Shirath saat orang-orang lewat di atasnya. Shirath
yang dipancangkan di atas neraka Jahannam. Sungguh, itu adalah saat-saat yang
paling berat. Siapa pun yang menyia-nyiakan amanah dan memutuskan jalinan tali
rahim, dia tidak akan dapat berdiri kokoh di atas Shirath. Sedangkan orang yang
menyambung tali rahim dan menunaikan amanah, sungguh Allah akan mengokohkan
kakinya di atas Shirath. Hal ini menunjukkan betapa agungnya perkara amanah dan
menjalin tali rahim, ikatan kekeluargaan.[8]
D. Bahayanya Tidak
Amanah/Khianat
Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka
ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai
sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik.
Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri
datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah semoga Allah
meridhainya, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.”
Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)
Amanah menurut bahasa (etimologi) ialah kesetiaan,
ketulusan hati, kepercayaan (istiqomah) atau kejujuran. Kebalikannya ialah khianat.
Khianat adalah salah satu gejala munafik. Betapa pentingnya sifat dan sikap
amanah ini dipertahankan sebagai akhlaqul karimah dalam masyarakat, jika sifat
dan sikap itu hilang dari tatanan sosial umat Islam, maka kehancuranlah yang
bakal terjadi bagi umat itu. [9]
Demikianlah misalnya denganjanji yang kita
ucapkan, hal itu mengandung tanggung jawab. Janji yang tidak kita penuhi, akan
membawa suatu akibat. Dalam pandangan Allah, orang yang ingkar janji termasuk
orang yang berdosa. Adapun dalam pandangan manusia, orang yang ingkar janji
akan dianggap remeh dan tidak dapat dipercaya. Akhirnya, orang yang
bersangkutan merasa canggung bergaul, rendah diri, gelisah, dan tidak tenang.
Janji yang diadakan dengan manusia, apabila tidak ditepatinya mungkin akan
lepas dari tuntutan manusia tersebut, namun Allah akan tetap meminta
pertanggungjawaban dari orang tersebut[10].
Karena tindakannya yang licik, sifat khianat
untuk sementara waktu tidak diketahui manusia, tetapi Allah Maha Mengetahui. Ia
tidak Berani
bersumpah palsu untuk memperkuat dan membenarkan keterangannya bila ia
tertuduh, karena ia tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Dia tidak memperoleh
keuntungan dari tindakannya yang tidak jujur itu, sifat senang mengorbankan
teman sendiri, jadi musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan, menolak
kawan seining dan membahayakan keselamatan dirinya. Sifat amanah membawa kelapangan
rezeki, sedangkan khianat menimbulkan kefakiran. Pengkhianat sebenarnya
mencoreng keningnya sendiri dengan arang yang tidak mungkin hilang untuk
selama-lamanya, jauh dari
teman dan sahabat, terisolasi dari pergaulan, masyarakat memandang dengan sebelah
mata dan dia kehilangan kepercayaan.[11]
E. Urgensi Amanah
Jujur dan amanah adalah dua sifat yang
paling agung pada diri Nabi dan rasul. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas katanya, “Abu Sufyan menyampaikan kepadaku
bahwa Heraclius berkata kepadanya, ‘Aku bertanya kepadamu, apa saja yang
diperintahkannya?’ Aku pun menjawab bahwa dia (Muhammad memerintahkan shalat,
jujur, menjaga kehormatan, memenuhi janji, dan menunaikan amanah. ‘Itu adalah
sifat seorang nabi,’ kata Heraclius.”
Nabi SAW tak pernah lelah menganjurkan
umat untuk selalu beramanah. Beliau berjanji akan membawa naik ruh mereka ke
surga Ar-Rahman kelak. Beliau bersabda, “Jaminkan untukku enam perkara dari
kalian, niscaya aku jaminkan surga untuk kalian, di antara keenam perkara itu
adalah hendaklah kamu menunaikan amanah jika kamu mendapatkannya.”“
Nabi
SAW tetap memerintahkan kita untuk menunaikan amanah meskipun orang-orang
yang ada di sekitar kita tidak ada yang menunaikan amanah lagi. Beliau
bersabda, “Tunaikan amanah kepada orang yang memberimu amanah dan janganlah
kamu khianati orang yang mengkhianatimu!”[12]
Beliau juga bersabda:
لاَإِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ
وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
Tidak ada
iman bagi yang tidak beramanah, dan tidak beragama bagi yang tidak (menepati)
janjinya .[13]
Alangkah
indahnya kekuatan saat dia dibalut dan dipercantik dengan amanah. Dan alangkah
indahnya pula amanah saat dia dihiasi dengan kekuatan. Jika seorang mukmin
dapat dipercaya namun tidak kuat, dia tidak akan mampu menunaikan amanah karena
kelemahannya. (Yang dimaksud dengan kelemahan di sini, yang pertama adalah
kelemahan akidah, barulah kemudian kelemahan-kelemahan dalam aspek materi yang
lain.) Dan alangkah buruknya manusia saat dia kuat, namun pada saat yang sama
dia menjadi seorang pengkhianat... Dari sinilah Al-Qur’an datang mengumpulkan
kekuatan dan amanah sekaligus. Sebab saat keduanya berkumpul pada seseorang,
maka dia akan menjadi teladan agung di dalam mengernkan amanah, seperti
disabdakan oleh Rasulullah.
الْمُؤْ مَنُ الْقَوِ يُّ خَيْرُ
وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ اضَّحِيفِ
Seorang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang
mukmin yang lemah.[14]
Dari sini
dapat dipahami bahwa Sejatinya pada setiap muslim tertuntut untuk mengemban
amanah besar dari agama ini. Yaitu berakhlak dengan akhlak Islam dan
bermuamalah dengannya. juga, hendaknya dia meyakini bahwa dialah yang
berkewajiban memikul cita-cita Islam di atas pundaknya. Sekiranya setiap muslim
berpikir bahwa dirinyalah yang berkewajiban memikul cita-cita Islam di atas
pundaknya, niscaya tidak akan kita lihat seseorang yang berbuat semaunya dan
menyia-nyiakan amanah itu. Sebaliknya dia akan selalu merasa diawasi oleh Allah
SWT. dan tahu bahwa Islam adalah agama yang diridhai Allah bagi manusia. Selain
itu, dia juga akan merasakan dengan syahadatnya kepada agama ini bahwa dia
sedang “menolong” Al-Haq.
“Jika kamu `menolong’ Allah, niscaya
Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Terjemahan QS.Muhammad : 7)
Maka dia pun khawatir jika Islam
diserang dari depannya. Bulan, bintang, planet, angin, awan,
udara, semuanya berjalan untuk tugas
masing-masing dengan izin Rabb mereka. Mereka mengerti siapa yang menciptakan
mereka. Mereka tunduk kepada kehendak-Nya tanpa perlu berusaha dan berpayah-payah.
Ya, mereka telah menyatakan ketidak sanggupan untuk menanggung amanah tanggung
jawab, amanah memiliki iradah, amanah pengetahuan, amanah untuk berusaha secara
khusus dan yang menyatakan kesanggupannya adalah manusia. [15]
Maka manusia dapat mengenal Rabbnya
dengan pengetahuan dan rasa yang dimilikinya. Dia bisa sampai kepada syariat
yang berlaku untuknya dengan perenungan dan pandangannya. Dia beramal sesuai
dengan syariat dengan usaha dan upayanya. Dia menaati Allah dengan iradahnya,
kemauannya, dan keinginannya sendiri seiring dengan upayanya untuk menahan
penyimpangan dan memerangi kecenderungan syahwatnya. Manusia dalam setiap
langkahnya adalah berkehendak... mengerti... dan bebas memilih jalannya. Pun
dia tahu ke mana ujung jalan yang akan dilaluinya. [16]
Iradah, pengetahuan, usaha, dan memikul
tanggung jawab. Inilah, inilah keistimewaan manusia dibandingkan
makhluk-makhluk Allah yang lain! Ini pulalah alasan mereka mendapatkan kemuliaan.
Kemuliaan yang diumumkan oleh Allah di alam tertinggi saat mana Dia
memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam. Allah juga mengumumkannya di
dalam Al-Qur’an yang abadi dengan firman-Nya,
“Dan sungguh telah Kami muliakan Bani
Adam.” (Terjemahan QS.Al-Isro’ : 70)
Maka dari itu, hendaklah manusia
mengerti alasan dia dimuliakan di sisi Allah dan bangkit untuk mengemban amanah
yang telah dipilihnya. Amanah yang saat ditawarkan kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, mereka semua menolaknya.
Amanah itu adalah amanah taklif. Amanah
agung yang dienggani oleh langit, bumi, dan gunung-gunung, yang lantas
disanggupi oleh manusia yang lemah. Jika manusia menunaikannya sebagaimana
dikehendaki oleh Allah Jalla wa Ala, maka dia dinilai telah menunaikannya dan
dia telah mendapatkan kemenangan dengan beroleh keridhaan Allah. Sebaliknya,
jika dia meninggalkannya dan mengkhianatinya, maka dialah manusia yang selalu
berbuat zhalim,, dan bodoh.[17]
Amanah taklif ini termanifestasikan di
dalam firman-Nya:
وَمَا
خَلَقْتُ الْخِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَحْبُدُونِ
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(Terjemahan QS. Adz-DzAriydt
: 56)
Sungguh, itu adalah suatu urgensitas
agung yang sangat berharga. Urgensitas yang kita diciptakan oleh Allah
untuknya. Oleh sebab itu kita harus mengerti satu hal dari awal hingga akhir
bahwa agama ini adalah amanah, kewajiban-kewajibannya adalah amanah, semua
perintah adalah amanah, dan semua larangan pun amanah. Maka wajib bagi kita
untuk berusaha menunaikan amanah agama[18] ini,
melingkarkannya di leher-leher kita ke mana pun dan kepada siapa pun kita
menuju, supaya manusia di seluruh belahan bumi menjelma menjadi hamba-hamba
Ar-Rahman. Dengan itulah arah yang dituju manusia bersesuaian dengan arah yang
dituju oleh alam raga ini, sehingga manusia dapat memetik buah `ubudiyah di
dunia dan di akhirat.
Semestinya kita menunaikan amanah dengan
sempurna yaitu dengan menegakkan tauhid kepada Allah Azza wajala, mengamalkan
semua syariat, beribadah dengan semua syiar agama, baik yang fardhu maupun yang
sunnah sampai kita menclapatkan cinta dari Allah. Allah telah berfirman:
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada semua yang Aku
fardhukan kepadanya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
semua yang sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku
menjadi pendegarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku menjadi) pandangannya
yang dia memandang dengannya, (Aku menjadi) tangannya yang dia menangkap dengannya,
dan (Aku menjadi) kakinya yang dia berjalan dengannya. Jika dia meminta
kepada-Ku, niscaya aku pasti memberinya. Jika dia meminta perlindungan
kepada-Ku, niscaya Aku lindungi dia.
Kita juga berkewajiban untuk
melaksanakan semua perintah Allah seraya mengucapkan, “Sami’na wa atha’na, kami
mendengar dan kami taat,” sebagaimana kita mesti meninggalkan segala laranganNya
dengan mengatakan, “Sami’na wa intdhaina, kami mendengar dan kami
meninggalkannya.” Kita pun wajib berhukum kepada syariat-Nya
untuk semua urusan kita; yang besar dan yang kecil. Sebelum semua itu
kita berkewajiban mengejawantahkan tauhid kepada Allah secara sempurna: kita
mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shiffat. Kemudian kita
membawa semuanya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi. Maka
jadilah alam raga ini laksana kafilah yang berjalan di jalur yang benar menuju
Allah [19].
Semuanya melantunkan dengan lisan hakiki dan lisan kondisi ucapan, “Dan aku
bersegera kepada-Mu, wahai Rabbku! Supaya Engkau ridha (kepadaku).” (Terjemahan
QS. Thaha : 84)
Marilah kita semua bersungguh-sungguh di
dalam menunaikan amanah agung yang digantungkan oleh Allah di leher-leher kita
dan mengikhlaskan niat karena Allah semata. Ibnu Katsir menyatakan, “Inilah
sifat-sifat yang melekat pada diri para rasul (tabligh, nasihat, dan amanah).[20] Pun
demikian para rasul. Mereka telah menemui kaum mereka dan mengabarkan bahwa
mereka adalah orang-orang yang beramanah, dapat dipercaya, di dalam
menyampaikan risalah.[21]
Orang-orang musyrik pun telah mengakui bahwa
Nabi Muhammad adalah seorang yang jujur dan terpercaya. Beliau sendiri juga
pernah bersabda tentang dirinya, “Demi Allah, aku adalah seorang yang
terpercaya di langit dan terpercaya pula di muka bumi[22].
Amanah adalah tuntutan
iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw.
sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan
amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.”
(Ahmad dan Ibnu Hibban)
D.
Menanankan Amanah Dalam Pembelajaran
Sifat amanah bisa dianalogikan dengan kompetensi pribadi
dan sosial bagi guru. Dalam menjalankan tugasnya, interaksi dengan masyarakat
adalah suatu keniscayaan bagi guru. Keterampilan dalam berkomunikasi,
berinteraksi, bekerja sama, bergaul dan simpatik adalah bagian dari kompetensi
sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kemampuan tersebut memudahkan
guru dalam berinteraksi dengan orang tua peserta didik. Hubungan antara sekolah
dan masyarakat akan berjalan harmonia karena dijembatani oleh seorang guru yang
berkompeten. Di sinilah pentingnya guru memiliki sifat amanah.
Sifat amanah juga dapat
menjadi “setir” bagi seorang guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan
baik dan benar, tanpa menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya. Selama ini,
fenomena seorang guru menyalahgunakanjabatannya sangat marak terjadi. Contoh yang paling sederhana saja,
seorang guru tidak disiplin masuk kelas, selalu terlambat, berbelanja saat jam
sekolah, menganggap dirinya paling berkuasa, pilih kasih terhadap murid, dan
yang paling menyedihkan adalah maraknya pelecehan seksual oleh guru terhadap
siawi. [23]
Nah, contoh-contoh
sederhana tersebut sangat marak terjadi di negeri ini. Di media-media pun,
banyak memberitakan mengenai kebobrokan moral para guru. Itulah gambaran jika
seorang guru tidak amanah. Maka dari itu, sifat Nabi Muhammad Saw. yang satu
ini patut kita teladani
dan aplikasikan dalam aktivitas sehari-hari, baik di sekolah (ketika mengajar)
maupun luar sekolah.
Sifat amanah pula yang akan menguji tingkat
keikhlasan dan keluhuran seorang guru dalam menjalankan kewajibannya (tugas dan
fungsinya) mendidik siawa-siswinya.
Guru yang tidak ikhlas pastilah guru yang tidak amanah. Ketika sudah tidak
amanah, yang rugi bukan saja para anak didiknya, tetapi diri guru sendiri
pun rugi.[24]
Bagi seorang guru, mengajar adalah amanah yang
sangat mulia. Mengapa? Sebab, dengan mengajar dan mendidik, seorang guru telah
mewariskan ilmu kepada peserta didik. Ilmu yang diberikan kepada anak didik itu
mendapat balasan pahala yang sangat besar dari Allah SWT.. Dalam hubungannya
dengan bangsa dan negara, guru memperoleh gelar yang sangat mulia, yakni
pahlawan tanpa tanda jasa. Untuk itu, sekali lagi, sifat amanah wajib dimiliki
oleh seorang guru.[25]
Bagaimana untuk dapat mengemban amanah. Mari perhatikan
terjemahan ayat di awal surat Al-Ahzab. Surat
yang menyebut tentang amanah di bagian akhirnya. Di awal surat itu Allah
berfirman:
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan
janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Sesungguhhya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ikutilah apa
yang diwahyukan dari Rabbmu kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. Dan bertawakallah kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai
Pemelihara. (Terjemahan QS. Al-Ahzab : 1-3)
Di sini Allah menerangkan bahwa ada
empat perkara yang akan membantu seseorang dalam mengemban amanah. Empat
perkara itu adalah: takwa kepada Allah, tidak menaati orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, mengikuti wahyu, dan bertawakal kepada Allah.
Cara pertama, takwa
kepada Allah.
Firman Allah, “Hai Nabi, bertakwalah
kepada Allah!” bermakna senantiasalah bertakwa kepada Allah. Seakan-akan
maknanya adalah: jika perintah ini ditujukan kepada Rasulullah,padahal beliau
adalah Sayyidul Atqiya’, pemimpin orang-orang yang bertakwa, maka umat beliau
lebih layak lagi untuk mendapatkan perintah ini.
Takwa, sebagaimana didefinisikan oleh
Ali bin Abu Thalib adalah takut kepada Al-Jalil (Yang Maha-agung), beramal
dengan At-Tanzil (Al-Qur’an), ridha terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap
untuk hari akhir.
Thalaq bin Habib berkata, “Takwa adalah
kamu taat kepada Allah dengan berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan
pahala Allah. Juga, kamu meninggalkan maksiat kepada Allah dengan berdasarkan
cahaya dari Allah dan takut kepada siksaan Allah.”[26]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih
definisi takwa versi Thalaq bin Habib ini, karena definisi ini memuat dua
perkara ikhlas dan mutaba’ah. Keduanya adalah syarat diterimanya amal shalih.
Cara kedua, tidak
mentaati orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Nabi SAW telah menjelaskan hal itu saat
beliau bersabda, “Seseorang itu tu berada di atas akhlak khalilnya. Maka,
hendaklah salah seorang dari kahan melihat siapa yang menjadi khalilnya.
Itulah sebabnya setelah itu Allah
berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Allah mengetahui akibat dari mengikuti orang-orang kafir dan orang-orang
munafik. Allah telah menjelaskan hal itu dalam banyak ayat.
Di antaranya, “Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab,
niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu
beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah
dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu?
Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya dia
telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Terjemahan QS. Ali
‘Imrdn : 100- 101)
Juga firman Allah, “Hai orang-orang
yang beriman, jika kamu menaati orang-orang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan
kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.
Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik
penolong.” (Terjemahan QS. Ali `Imrdn : 149-150)
Allah ,memerintahkan kita supaya hanya
menaati perintahNya dan hanya mengikuti Rasul-Nya. Karena itulah di dalam ayat
di atas disebutkan cara yang ketiga.
Cara ketiga, yaitu
mengikuti apa yang diwahyukan dari Allah.
Satu-satunya jalan yang akan menjadikan
seseorang terjauhkan dari mengikuti orang-orang kafir dan orang-orang munafik
adalah dengan mengikuti Rasulullah. Allah jalla wa Ala telah meringkaskan hal itu
dalam firman-Nya, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin
daripada diri mereka sendiri.” (Terjemahan QS. Al-Ahzab : 6)
Sebagian ulama menyatakan bahwa ketika
Allah mengetahui luapan khasyyah Nabi dan kasih sayangnya kepada umatnya, Dia
menjadikan diri Nabi lebih utama dari pada diri mereka sendiri. Maknanya,
keputusan Nabi berkenaan dengan urusan mereka harus didahulukan daripada
keputusan mereka untuk diri mereka sendiri. Juga, pilihan Nabi untuk mereka
harus didahulukan daripada pilihan mereka untuk diri mereka sendiri. Dan bahwa
jalan yang dilempangkan oleh beliau lebih baik dari pada jalan yang mereka
lempangkan untuk diri mereka sendiri.
Maka, tidak ada kewajiban bagi Anda
selain mengikuti jalan keselamatan ini. Jalan lurus yang kelak pada hari Kiamat
kita akan ditanya tentangnya.
Jalan ini tidaklah dipenuhi dengan
bunga-bunga. Namun demikian, keimanan Anda kepada qadha’dan qadar akan membantu
Anda untuk melewatinya. Yaitu dengan mengerti bahwa segala yang menimpa Anda
bukanlah sesuatu yang salah alamat dan bahwa segala yang lupus dari Anda memang
bukan bagian Anda. Selain itu hendaklah Anda mengerti bahwa sekiranya seluruh
umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat bagi Anda, mereka tidak akan dapat
memberi manfaat kepada Anda melainkan dengan sesuatu yang suclah ditetapkan
oleh Allah bagi Anda. Dan sekiranya mereka berkumpul untuk mendatangkan
mudharat bagi Anda, sekali-kali mereka tidak akan dapat mendatangkan mudharat
bagi Anda, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah atas Anda.
Juga, hendaklah Anda yakin bahwa bagaimana pun tidak ada sesuatu pun di jagat
raga ini ada melainkan dengan masyiah dan iradah Allah. Apa pun yang
dikehendaki-Nya pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan
terjadi. [27]
Ketahuilah bahwa ketaatan kepada manusia
mana pun di muka bumi ini terikat dengan dua perkara: makruf dan istitha’ah.
Sedangkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah ketaatan
yang mutlak sebagaiman difirmankan oleh Allah, (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia
telah sesat, swat yang nyata.” (Terjemahan QS. Al-Ahzdb :36)
Cara kempat, bertawakkal kepada Allah.
Untuk dapat bertawakkal diperlukan
beberapa perkara:
1. Mengenal Allah melalui nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Allah adalah Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Khabir (Yang
Maha Mengawasi), Al-’Alim (Yang Maha Mengetahui). Dia tidak membutuhkan makhluk
mana pun; sebaliknya makhluk-makhluklah yang membutuhkan-Nya.
2. Beriman kepada takdir secara mantap. Allah telah
berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (Terjemahan QS. AlQamar : 49)
3. Berusaha semampu Anda.
4. Menjaga hati dari bergantung kepada selain Allah.
Maksud saya, hendaklah Anda berusaha semampu Anda dengan syarat Anda mengerti
bahwa usaha Anda masih tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak dapat
mendatangkan mudharat, kecuali dengan perintah Allah.[28]
DAFTAR PUSTAKA
Alwisral Imam Zaidallah, 30 Rahasia
Kesempurnaan Akhlak Rasulullah Yang mulia, ( Jakarta ; Kalam mulia, 2011)
Didiek Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi
Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011)
M.
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ;
Amzah)
Mahmud Al Misri, Manajemen Akhlak Salaf,
(Solo : Pustaka Amanah, 2007)
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung
: Pustaka setia, 2008)
Sitiatava,
Prinsip Mengajar Berdasar Sifat-Sifat Nabi, (Yogyakarta: Diva press,
2014)
[2] Sitiatava,
Prinsip Mengajar Berdasar Sifat-Sifat Nabi, (Yogyakarta: Diva press,
2014), h. 82-83
[3] Didiek Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi
Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 225
[4] Alwisral Imam Zaidallah, 30 Rahasia
Kesempurnaan Akhlak Rasulullah Yang mulia, (Jakarta ; Kalam mulia, 2011),
h. 117-118
[5] M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam
Perspektif AlQuran, (Jakarta ; Amzah, 2007), h. 5
No comments:
Post a Comment