Salju

Daun Berjatuhan

Selamat Datang

Selamat Datang di Danny's Blog. Semoga bermanfaat......

Like

Tuesday, November 25, 2014

HAKIKAT AKHLAQ



BAB I
HAKIKAT AKHLAK

A.    Pengertian Akhlak
Kata “akhlak” (akhlaq) berasal dari bahasa Arab, merupakan bentuk jamak dari “khuluq” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan kata “khalki” yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan Khaliq yang berarti Pencipta, dan makhluk yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq.[1]
Ibnu Athir menjelaskan bahwa khuluq itu adalah gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat batiniah), sedang khalq merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah badan, dan lain sebagainya). [2] Kata khuluq sebagai bentuk tunggal dari akhlak, tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Qalam [68]: 4, yang artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”
Karenanya akhlak secara kebahasaan bisa berarti baik atau buruk tergan­tung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun secara sosiologi di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi orang yang berakhlak berarti orang yang berakahlak baik.[3]
Dilihat dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli tersebut dihimpun sebagai berikut:
1.      Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan dan 'tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.'
2.      Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas ­nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya .
3.      Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk. Contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlaqul karimah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlaqul madzmumah .
4.      Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan, dan kelakukan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliqnya dan terhadap sesama manusia.
5.      Hamzah Ya'qub mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut.
a.       Akhlak ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
b.      Akhlak ialah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
c.       Imam Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
d.      Farid Ma'ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
e.       M. Abdullah Daraz mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau pihak yang  jahat (akhlak buruk).
f.       Ibn Miskawaih (w.1030 M) mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari). [4].
Sebenarnya akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan, melainkan gambaran batin (jiwa) yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akhlak adalah nafsiyah (sesuatu yang bersifat kejiwaan/abstrak), sedangkan bentuknya yang kelihatan berupa tindakan (mu'amalah) atau tingkah laku (suluk) merupakan cerminan dari akhlak tadi.
Jadi pada hakikatnya khulk atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbulah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari'at,  maka ia dinamakan akhlak mulia dan sebalik­nya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah akhlak yang tercela.
Seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajat dan secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang demikian ini disebut orang yang dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya. Oleh sebab itu disyaratkan bahwa  suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran.  Maka seandainya ada seseorang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksa halnya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sung­guh-sungguh dan dipikir-pikir lebih dulu, maka bukanlah orang yang  semacam ini disebut sebagai orang dermawan.[5]
Sering kali suatu perbuatan dilakukan secara kebetulan tanpa adanya kemauan atau kehendak, dan bisa juga perbuatan itu dilakukan sekali atau beberapa kali saja, atau barangkali perbuatan  itu dilakukan tanpa disertai ikhtiar (kehendak bebas) karena adanya tekanan atau paksaan. Maka perbuatan-perbuatan tersebut di atas tidak dapat dikategorikan sebagai akhlak.[6]
Jadi, pada hakikatnya khuluq atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk sekelilingnya. Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.

B.     Etika, Moral dan Akhlak
1.      Etika
Etika adalah berasal dari bahasa Yunani. Etika yang berarti adat kebiasaan sama dengan akhlak dalam arti bahasa. Artinya etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun dari sistem nilai atau norma yang diambil dari (di­generalisasikan dari) gejala-gejala alamiah masyarakat kelompok tersebut. Sifat baik yang terdapat pada pranata ini adalah merupakan persetujuan sementara dari kelompok yang menggunakan pranata perilaku tersebut. Dengan perkataan lain nilai moral yang meru­pakan nilai etika tersebut bersifat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dan perumusan diskiriptif daripada nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah (universal). Oleh karena itu dalam masyarakat yang menggunakan sistem etika ini, pada suatu waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan suatu nilai tata cara hidup tertentu yang pada waktu dan tempat lain tidak dibenarkan, umpa­manya hidup bersama pada masyarakat bebas, seperti di dunia Barat (permiasive society) yang menurut tata nilai akhlakul karimah, hal itu tidak bisa dibenarkan. Jelas nampak kepada kita bahwa sistem etika, dapat bersifat bebas nilai (value free) khususnya nilai sakral dan oleh karena itu siatem etika seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hablum minallah. Ukuran baik dan buruk dalam siatem etika ini, subyektif bergantung kepada pengaruh yang kuat dari pemikir­pemikir yang sangat heterogen.[7]
Berdasarkan pengertian di atas, etika menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal yang baik dan yang buruk dengan memerhatikan amal  perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran. Dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk.
Dalam hubungan ini Hamzah Ya'qub menyimpulkan/ merumuskan: "Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran".
Dari pengertian di atas maka antara etika dengan akhlak terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama membahas masalah baik dan burukya tingkah laku manusia. Adapun perbedaannya adalah etika baik buruk berdasarkan akal pikiran; tidak dari berdasarkan agama, sedangkan akhlak baik buruk berdasarkan AlQuran dan Al hadits.

2.      Moral
Perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan kelakuan. [8]
Pendapat lain mengatakan bahwa moral berarti kebiasaan, susila. Adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum tentang yang baik dan tidak baik yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan sosial atau lingkungan tertentu yang diterima oleh masyarakat. [9]
 Hamzah Ya'qub mengatakan bahwa yang di sebut moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum di terima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. [10] Selanjutnya salah satu pengertian moral yang disebutkan di dalam Ensiklopedi Pendidikan adalah “nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral). Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik/buruk”. Maka untuk mengukur tingkah-laku manusia baik atau buruk  dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan, baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. [11]
Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk  tolak ukurnya adalah  akal pikiran, maka moral tolak ukurnya adalah norma­-norma yang hidup di masyarakat.  Dengan demikian, jelaslah ada persamaan dan perbedaan  antara etika dan moral. Perbedaannya yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara universal (Umum), sedang moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. [12]
Sebelum membandingkan akhlak dengan moral dan etika, tidak ada salahnya kalau disebut juga pa­danan lain dari akhlak yaitu kesusilaan. Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Susila dalam bahasa Sansekerta terdiri dari su dan sila. Su artinya baik atau bagus dan sila berarti sikap, dasar, peraturan hidup atau norma. Dalam Kamus Be­sar bahasa Indonesia, kesusilaan artinya perihal susila (beradab, sopan, tertib), berkenaan dengan adab (kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti) dan sopan santun, sesuai dengan norma-norma tata susila menurut kebiasaan di suatu tempat pada suatu masa. [13]
Sekarang dapat dilihat persamaan antara akhlak, etika dan moral, yaitu menentukan hukum/nilai perbuatan manu­sia dengan keputusan baik atau buruk. Perbedaan terletak pada tolak ukurnya masing-masing, di mana akhlak dalam menilai perbuatan manusia dengan tolak ukur ajaran Al-quran dan  Sunnah, etika dengan pertimbangan akal pikiran, dan moral dengan  adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
Karena   bersumber dari kesepakatan manusia pada waktu dan ruang tertentu sehingga dapat berubah-ubah. Oleh karena itu, nilai moral yang merupakan nilai etika dapat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dan perumusan deskripsi dari menilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah (universal). Hal ini, menunjukkan bahwa masyarakat yang menggunakan sistem etika dimaksud, pada waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan suatu nilai tata cara hidup tertentu, sementara pada waktu dan tempat lain nilai-nilai tersebut tidak dibenarkan oleh masyarakat. Sebagai contoh orang Indonesia bila bertemu dengan sahabatnya atau kenalannya yang saling merindukan biasanya berjabatan tangan, orang Eropa bila bertemu dengan sahabatnya yang saling merindukan biasanya saling berciuman. Oleh karena itu, bila orang Indonesia mempraktikkan kode etika orang Eropa saling berciuman antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan hal itu akan bertentangan dengan kode etika bangsa Indonesia. Contoh yang lain, hidup bersama antara seorang pemuda dan pemudi pada masyarakat bebas, seperti di dunia Barat, yang menurut tata nilai akhlakul karimah, tidak dapat dibenarkan. Di sini jelas tampak kepada manusia muslim bahwa sistem etika, dapat bersifat bebas nilai (value free) khususnya nilai sakral. Oleh karena itu, siatem etika seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hablum minallah. Ukuran baik dan buruk dalam siatem etika ini subjektif, yaitu bergantung pada pengaruh yang kuat dari para pemikir sistem nilai dan etika. [14]
Sistem nilai dan norma yang menjadi landasan etika tidak bersumber kepada nilai-nilai, tetapi semata-mata hanya tergantung kepada pemikiran deskriptif dari perumus sistem nilai dan etika. Oleh karena itu, merupakan perjanjian masyarakat yang bersifat sementara, dan tidak mustahil bersifat subjektif.
Lain lagi halnya ajaran akhlak yang bersumber dari ajaran agama, baik dari Alquran, dan Alhadis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Baik buruknya tindakan manusia ditentukan oleh tolok ukur penilaiannya sebagai manusia. Hal ini biasa diungkapkan bahwa kalau binatang yang dipegang adalah talinya dan kalau manusia yang dipegang adalah kata-katanya. Ungkapan ini bermakna kalau manusia tidak mampu lagi dipegang kata-katanya maka akan hilang identitasnya sebagai manusia yang dapat dipercaya oleh manusia lain.[15]
Oleh karena yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat-istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa. Maka dipandang dari sumbernya, akhlak Islam bersifat tetap dan berlaku untuk selama-lamanya, sedang moral dan etika berlaku selama masa tertentu di suatu tempat tertentu. Konsekuensinya, akhlak Is­lam bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat relatif (nisbi). [16]  Perbedaan pengertian ini harus dipahami supaya kita dapat membedakan sifat dan isi akhlak, moral dan etika, walaupun dalam masyarakat ketiga istilah itu disinonimkan dan dipakai silih berganti un­tuk menunjukkan sesuatu yang baik atau buruk. Sekarang sudah saatnya jika seorang muslim lebih faham dalam menggunakan istilah yang tepat untuk penyebutan tingkahlaku manusia.

C.    Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami manusia sekarang ini, tidak sedikit membawa dampak negatif terhadap sikap hidup dan perilaku (moral dan akhlak) manusia itu sendiri, baik ia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
Dampak negatif yang paling nyata terhadap kehidupan manusia atas kemajuan tersebut adalah mewabahnya budaya materi. Hal ini ditandai dengan meluasnya anggapan bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidup manusia adalah kekayaan materi, sehingga mereka mengejar materi tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sangat berperan dalam memelihara dan mengendalikan perilaku atau akhlak mereka. Nilai-nilai spiritual yang dimaksud adalah ajaran agama yang berfungsi membina kepribadian manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah dan anggota masyarakat.
Pada kenyataannya budaya materi tidak dapat membawa manusia mencapai kebahagiaan yang hakiki, bahkan justru membawa bencana dan kehancuran bagi kehidupan manusia pada segala aspeknya, karena yang ada dalam budaya ini adalah kerakusan dan egoisme yang menyebabkan hilangnya nilai-nilai luhur seperti amanah, kasih sayang, tenggang rasa, batas kasih, dan lain sebagainya. Bangsa Romawi dan Persia dahulu yang terkenal dengan ketinggian budayanya, ternyata tidak memberikan jaminan mereka akan berbuat secara manusiawi terhadap sesamanya, bahkan sebaliknya, karena yang mereka agungkan adalah budaya materi.
Belajar dari sejarah bangsa-bangsa tersebut, maka tidak bisa dipungkiri bahwa keunggulan dan kehancuran umat ditentukan oleh akhlak yang mereka miliki. Oleh karena itu, akhlak  sangat penting dalam kehidupan manusia. [17]
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. la dengan takwa, merupakan “buah" pohon Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari'ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.[18] Di antaranya adalah,
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak" (H.R Ahmad); "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang palingbaik akhlaknya" (H.R. Tarmizi).
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mulia karena karunia yang diberikan Allah kepadanya berupa akal pikiran yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya. [19]
Akhlak merupakan mutiara hidup yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa akhlak manusia akan kehilangan derajat kemanusiaannya yang mulia dan akan turun ke derajat binatang, atau bahkan lebih rendah. Sebab dengan potensi akalnya manusia bisa berbuat lebih hina dan lebih jahat daripada binatang.

D.    Sebab-Sebab Terjadinya Akhlak  Buruk dan Cara Meperoleh Akhlak Terpuji.
Akhlak yang buruk sama halnya dengan penyakit-penyakit lainnya, mempunyai beberapa sebab yang mendatangkannya serta faktor-faktor yang menggerakkannya, di antara sebab­-sebab itu adalah  tabiat buruk manusia, pendidikan rumah yang buruk,  lingkungan dan sosial kemasyarakatan yang tidak baik, perbuatan zalim, mengikuti nafsu syahwat, kemarahan yang tidak pada tempatnya, kebodohan, kesombongan dengan kekuasaan yang dimiliki, angkuh dengan kekayaan harta benda, ketenaran tapi jauh dari mawas diri, lalai dari aib yang ada pada dirinya, kemauan yang lemah, sombong dari menerima nasehat yang lurus dan kri­tikan yang membangun, bersahabat dengan orang-orang yang tidak baik, dan minimnya rasa malu. [20]
Oleh sebab itu tidaklah disangsikan lagi bahwa yang paling berat bagi tabiat manusia adalah merubah akhlak yang telah menjadi tabiat jiwanya. Hanya saja hal itu bukan suatu yang tidak memungkin­kan atau mustahil.  Ada beberapa sebab, ragam saran dimana seseorang dengan bantuan hal tersebut dapat meraih akhlak yang terpuji. Di antara hal-hal itu adalah:  
1.      Luruskan Aqidah
Penyimpangan di dalam tingkah laku kepribadian moralitas  juga merupakan akibat dari kesalahan dalam masalah aqidah. Aqidah sesungguhnya adalah keimanan, dan sebaik-baik iman seorang mukmin adalah yang paling terpuji akhlaknya. Apabila aqidah telah benar, maka akhlak akan men­jadi baik mengikuti aqidah yang benar itu. Maka aqidah yang shahih akan menuntun pelakunya kepada akhlak-akhlak yang mulia. [21]
Al-Ghazali mengatakan: “Adab-adab yang zhahir merupakan tanda dari adab-adab yang batin, tingkah laku dari perbuatan anggota tubuh adalah buah hasil dari hati. Dan amalan adalah hasil dari akhlak. Dan adab merupakan rembesan pengetahuan, dan rahasia-rahasia yang ada dibalik hali adalah perealisasian segala perbuatan dan juga muaranya. Dan cahaya batin me­rupakan cahaya yang akan menyinari setiap perilaku zhahir lalu menghiasinya, menampakkannya dan mengganti segala akhlak yang buruk dengan akhlak-akhlak yang mulia. [22]
Demikian menentukannya persoalan aqidah ini, maka sudah sepatutnya orang-orang yang menyuarakan slogan perbaikan, mengedepankan perkara aqidah dari perkara-perkara lainnya. Dikarenakan manusia apabila aqidah mereka telah benar maka jiwa mereka akan suci, dan akhlak mereka akan lurus me­ngikuti aqidah itu.
2.      Doa
Doa merupakan pintu yang paling agung, apabila terbuka pintu tersebut bagi seorang hamba, maka segala kebaikan akan mengucur tiada henti, dan segala berkah akan terlimpahkan baginya.
Barang siapa yang berkemauan untuk berhias dengan akhlak yang mulia, dan berkemauan untuk berlepas dari akhlak yang buruk, maka segeralah dia menghadap kehadapan Rabb­nya, hendaknya dia menengadahkan telapak tangan ketundu­kannya, agar Allah memberi rizki baginya berupa akhlak yang mulia, dan memalingkannya dari akhlak yang buruk. Doa pada hal ini akan sangat bermanfaat dan juga pada hal yang lainnya. Olehnya itu Nabi seringkali bermunajat kehadapan Rabb beliau meminta agar diberi akhlak yang mulia. Dan beliau pada do'a al-iftitah mengucapkan:
“Wahai Allah berilah aku petunjuk-Mu untuk meraih akhlak yang terpuji, yang tiada yang dapat menunjuki kepada akhlak yang paling terpuji selain Engkau. Dan palingkanlah dariku akhlak yang buruk, yang tiada yang dapat memalingkan dari akhlak yang buruk selain Engkau”
Dan beliau bersabda :
“Wahai Allah sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari ketidak berdayaan, kemalasan, sifat pengecut, kebinasaan, sifat kikir dan saya meminta perlindungan kepada-Mu dari adzab kubur dan dari fitnah kehidupan dan kematian”. [23]
3.      Bersungguh-sungguh
Bersungguh-sungguh sepanjang hidup ini akan memberi manfaat yang sangat banyak. Hal itu dikarenakan akhlak yang baik adalah bagian dari petunjuk hidayah yang seseorang akan dapat meraih­nya dengan kesungguhan.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keri­dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar­benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” ( Terjemahan QS. Al­`Ankahut: 69)
Barang siapa yang bersungguh-sungguh pada dirinya untuk berhias dengan akhlak-akhlak yang utama, dan mengu­payakan untuk berlepas dari akhlak-akhlak yang hina, maka dia akan meraih kebaikan yang sangat banyak. Dan akan tertolak keburukan yang tiada terhingga. Maka akhlak sebagaimana yang telah diterangkan di antaranya ada yang merupakan tabiat dasar dan fitrah, dan ada pula yang dapat diupayakan dengan latihan dan pengalaman.
4.      Muhasabah / koreksi diri
Koreksi kepada diri sendiri ketika melakukan suatu akhlak yang tercela, dan meniatkan agar tidak lagi kembali kepada akhlak itu untuk yang kedua kalinya. Ber­samaan itu juga mengambil mula suatu pahala apabila dia membaguskan akhlaknya, dan mengambil mula suatu siksa apa­bila dia mengabaikannya dan meremehkannya.[24]
Apabila akhlak telah terpuji maka dia akan merasa lega, dan merasa lapang dan akan mengantarkannya kepada kebaikan jiwa pada waktu-waktu yang diperbolehkan. Dan apabila akhlaknya menjadi buruk dan menjadi rendah maka dia mengekangnya dan bersungguh-sungguh mengatasi­nya dan mengharamkannya dari sebagian yang diinginkan oleh akhlak tersebut.
Ibnu al-Muqaffi' mengatakan: “Dan sebaiknya diri anda berjanji dengan sesuatu yang menjadikannya sebagai pelaku kebaikan. Karena apabila anda melakukan hal itu segala kebaikan akan mendatangi anda, mencarinya sebagaimana air bah yang mengalir mencari dataran yang lebih rendah”[25]




DAFTAR PUSTAKA

Abu ahmadi dan noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2008)
Asmaran AS. Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada, 1994)
Didiek Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011)
H M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ; Amzah, 2007)
Mohmmad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2011)
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, Akhlak-akhlak Buruk, Fenomena Sebab-Sebab Terjadinya & cara Pengobatannya, (Bogor, Pustaka Darul Ilmi, 2007)
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung : Pustaka setia, 2008)
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011)




[1] Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung : Pustaka setia, 2008), h.  205
[2] Didiek Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011),  h.   216
[3] Abu ahmadi dan noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2008), h. 198
[4] H M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ; Amzah, 2007),h. 3-4
[5] Asmaran AS. Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 3
[6] Didiek Ahmad Supadie Dkk. Op Cit.,h.217
[7] Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Op Cit., h. 201-202
[8] Asmaran AS. Op Cit h. 8
[9] Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), h. 29
[10] Asmaran AS. Op Cit h. 9
[11] Ibid.
[12] Rosihan Anwar, Op Cit , h. 208
[13] Mohmmad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), h. 354
[14] Zainuddin Ali, Op Cit h. 31-32
[15] Ibid., h. 32
[16] S Mohmmad Daud Ali, Op Cit.,h. 355
[17] Didiek Ahmad Supadie Dkk., Op Cit., h. 216
[18] Mohmmad Daud Ali, Op Cit.,h. 348
[19] Didiek Ahmad Supadie Dkk., Op Cit., h. 219
[20] Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, Akhlak-akhlak Buruk, Fenomena Sebab-Sebab Terjadinya & cara Pengobatannya, (Bogor, Pustaka Darul Ilmi, 2007), h. 81-94
[21]  Ibid.,h. 119
[22] Ibid., h. 120
[23] Ibid., h. 121-122
[24] Ibid., h. 123
[25] Ibid., h. 125

No comments:

Post a Comment