BAB I
HAKIKAT
AKHLAK
A.
Pengertian Akhlak
Kata “akhlak” (akhlaq) berasal dari bahasa Arab,
merupakan bentuk jamak dari “khuluq” yang menurut bahasa berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian
dengan kata “khalki” yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan Khaliq
yang berarti Pencipta, dan makhluk yang berarti yang diciptakan. Perumusan
pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq.[1]
Ibnu Athir menjelaskan bahwa khuluq itu adalah gambaran batin
manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat batiniah), sedang khalq
merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah
badan, dan lain sebagainya). [2]
Kata khuluq sebagai bentuk tunggal dari akhlak, tercantum dalam Al-Qur'an surah
Al-Qalam [68]: 4, yang artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas
budi pekerti yang agung”
Karenanya akhlak secara kebahasaan bisa berarti baik atau
buruk tergantung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun
secara sosiologi di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi
orang yang berakhlak berarti orang yang berakahlak baik.[3]
Dilihat
dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda
pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat
ahli tersebut dihimpun sebagai berikut:
1.
Abdul
Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan
dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan dan 'tentang
keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala
bentuk keburukan.'
2.
Ibrahim
Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang
berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya .
3.
Ahmad
Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk. Contohnya apabila
kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlaqul karimah dan bila
perbuatan itu tidak baik disebut akhlaqul madzmumah .
4.
Soegarda
Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan, dan
kelakukan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliqnya
dan terhadap sesama manusia.
5.
Hamzah
Ya'qub mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut.
a.
Akhlak
ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan
tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
b.
Akhlak
ialah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu
yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir
dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
c.
Imam
Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.
d.
Farid
Ma'ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu.
e.
M.
Abdullah Daraz mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam kehendak yang
mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang
benar (akhlak baik) atau pihak yang
jahat (akhlak buruk).
f.
Ibn
Miskawaih (w.1030 M) mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan yang melekat
pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran
atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari). [4].
Sebenarnya akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan, melainkan
gambaran batin (jiwa) yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa akhlak adalah nafsiyah (sesuatu yang bersifat
kejiwaan/abstrak), sedangkan bentuknya yang kelihatan berupa tindakan
(mu'amalah) atau tingkah laku (suluk) merupakan cerminan dari akhlak tadi.
Jadi
pada hakikatnya khulk atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah
meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbulah berbagai
macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa
memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan
terpuji menurut pandangan syari'at, maka
ia dinamakan akhlak mulia dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang
buruk, maka disebutlah akhlak yang tercela.
Seandainya
ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk
suatu hajat dan secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang demikian ini disebut
orang yang dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya. Oleh sebab itu disyaratkan
bahwa suatu perbuatan dapat dinilai baik
jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa
memerlukan pemikiran. Maka seandainya
ada seseorang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksa
halnya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan hal
itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir lebih dulu, maka bukanlah
orang yang semacam ini disebut sebagai
orang dermawan.[5]
Sering kali suatu perbuatan dilakukan secara kebetulan tanpa
adanya kemauan atau kehendak, dan bisa juga perbuatan itu dilakukan sekali atau
beberapa kali saja, atau barangkali perbuatan
itu dilakukan tanpa disertai ikhtiar (kehendak bebas) karena adanya tekanan
atau paksaan. Maka perbuatan-perbuatan tersebut di atas tidak dapat
dikategorikan sebagai akhlak.[6]
Jadi,
pada hakikatnya khuluq atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah
meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian dalam pergaulannya dengan Tuhan,
manusia, dan makhluk sekelilingnya. Dari sini timbullah berbagai macam
perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.
B.
Etika, Moral dan Akhlak
1.
Etika
Etika adalah
berasal dari bahasa Yunani. Etika yang berarti adat kebiasaan sama dengan
akhlak dalam arti bahasa. Artinya etika adalah sebuah pranata perilaku
seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun dari sistem nilai atau norma yang
diambil dari (digeneralisasikan dari) gejala-gejala alamiah masyarakat
kelompok tersebut. Sifat baik yang terdapat pada pranata ini adalah merupakan
persetujuan sementara dari kelompok yang menggunakan pranata perilaku tersebut.
Dengan perkataan lain nilai moral yang merupakan nilai etika tersebut bersifat
berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dan perumusan diskiriptif daripada
nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah (universal). Oleh karena
itu dalam masyarakat yang menggunakan sistem etika ini, pada suatu waktu
tertentu akan membenarkan pelaksanaan suatu nilai tata cara hidup tertentu yang
pada waktu dan tempat lain tidak dibenarkan, umpamanya hidup bersama pada
masyarakat bebas, seperti di dunia Barat (permiasive society) yang menurut tata
nilai akhlakul karimah, hal itu tidak bisa dibenarkan. Jelas nampak kepada kita
bahwa sistem etika, dapat bersifat bebas nilai (value free) khususnya nilai
sakral dan oleh karena itu siatem etika seperti ini sama sekali tidak ada
hubungannya dengan hablum minallah. Ukuran baik dan buruk dalam siatem etika ini,
subyektif bergantung kepada pengaruh yang kuat dari pemikirpemikir yang sangat
heterogen.[7]
Berdasarkan
pengertian di atas, etika menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal
yang baik dan yang buruk dengan memerhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh
akal pikiran. Dengan kata
lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik
karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk.
Dalam hubungan
ini Hamzah Ya'qub menyimpulkan/ merumuskan: "Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana
yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran".
Dari pengertian di
atas maka antara etika dengan akhlak terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama membahas masalah baik dan burukya tingkah laku
manusia. Adapun perbedaannya adalah etika baik buruk berdasarkan akal pikiran;
tidak dari berdasarkan agama, sedangkan akhlak baik buruk berdasarkan AlQuran
dan Al hadits.
2. Moral
Perkataan moral berasal dari bahasa
Latin mores yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Di
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk
perbuatan dan kelakuan. [8]
Pendapat lain mengatakan bahwa moral
berarti kebiasaan, susila. Adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai
dengan ide-ide umum tentang yang baik dan tidak baik yang diterima oleh
masyarakat. Oleh karena itu, moral adalah perilaku yang sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan sosial atau lingkungan tertentu yang diterima oleh
masyarakat. [9]
Hamzah Ya'qub mengatakan bahwa yang di sebut
moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum di terima tentang tindakan manusia mana
yang baik dan wajar. [10]
Selanjutnya salah satu pengertian moral yang disebutkan di dalam Ensiklopedi
Pendidikan adalah “nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai
hidup (moral). Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan
baik/buruk”. Maka untuk mengukur tingkah-laku manusia baik atau buruk dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat
istiadat yang umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu. Karena itu dapat dikatakan, baik atau buruk yang diberikan secara
moral hanya bersifat lokal. [11]
Kalau dalam pembicaraan etika, untuk
menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk tolak ukurnya adalah akal pikiran, maka moral tolak ukurnya adalah
norma-norma yang hidup di masyarakat. Dengan demikian, jelaslah ada persamaan dan perbedaan antara etika dan moral. Perbedaannya yakni
etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat
praktis. Etika memandang tingkah
laku manusia secara universal (Umum), sedang moral secara lokal. Moral
menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. [12]
Sebelum membandingkan akhlak dengan
moral dan etika, tidak ada salahnya kalau disebut juga padanan lain dari akhlak
yaitu kesusilaan. Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke
dan akhiran an. Susila dalam bahasa Sansekerta terdiri dari su
dan sila. Su artinya baik atau bagus dan sila berarti sikap,
dasar, peraturan hidup atau norma. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia,
kesusilaan artinya perihal susila (beradab, sopan, tertib), berkenaan dengan
adab (kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti) dan sopan santun, sesuai
dengan norma-norma tata susila menurut kebiasaan di suatu tempat pada suatu
masa. [13]
Sekarang dapat dilihat
persamaan antara akhlak, etika dan moral, yaitu menentukan hukum/nilai
perbuatan manusia dengan keputusan baik atau buruk. Perbedaan terletak pada
tolak ukurnya masing-masing, di mana akhlak dalam menilai perbuatan manusia
dengan tolak ukur ajaran Al-quran dan
Sunnah, etika dengan pertimbangan akal pikiran, dan moral dengan adat kebiasaan yang umum berlaku di
masyarakat.
Karena bersumber dari kesepakatan manusia pada waktu
dan ruang tertentu sehingga dapat berubah-ubah. Oleh karena itu, nilai moral
yang merupakan nilai etika dapat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dan
perumusan deskripsi dari menilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah
(universal). Hal ini, menunjukkan bahwa masyarakat yang menggunakan sistem
etika dimaksud, pada waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan suatu nilai
tata cara hidup tertentu, sementara pada waktu dan tempat lain nilai-nilai
tersebut tidak dibenarkan oleh masyarakat. Sebagai contoh orang Indonesia bila
bertemu dengan sahabatnya atau kenalannya yang saling merindukan biasanya berjabatan
tangan, orang Eropa bila bertemu dengan sahabatnya yang saling merindukan
biasanya saling berciuman. Oleh karena itu, bila orang Indonesia mempraktikkan
kode etika orang Eropa saling berciuman antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan hal itu akan bertentangan dengan kode etika bangsa Indonesia. Contoh
yang lain, hidup bersama antara seorang pemuda dan pemudi pada masyarakat
bebas, seperti di dunia Barat, yang menurut tata nilai akhlakul karimah, tidak
dapat dibenarkan. Di sini jelas tampak kepada manusia muslim bahwa sistem
etika, dapat bersifat bebas nilai (value free) khususnya nilai sakral. Oleh
karena itu, siatem etika seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
hablum minallah. Ukuran baik dan buruk dalam siatem etika ini subjektif, yaitu
bergantung pada pengaruh yang kuat dari para pemikir sistem nilai dan etika. [14]
Sistem nilai dan norma yang menjadi
landasan etika tidak bersumber kepada nilai-nilai, tetapi semata-mata hanya
tergantung kepada pemikiran deskriptif dari perumus sistem nilai dan etika.
Oleh karena itu, merupakan perjanjian masyarakat yang bersifat sementara, dan
tidak mustahil bersifat subjektif.
Lain lagi halnya ajaran akhlak yang
bersumber dari ajaran agama, baik dari Alquran, dan Alhadis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Baik
buruknya tindakan manusia ditentukan oleh tolok ukur penilaiannya sebagai
manusia. Hal ini biasa diungkapkan bahwa kalau binatang yang dipegang adalah
talinya dan kalau manusia yang dipegang adalah kata-katanya. Ungkapan ini
bermakna kalau manusia tidak mampu lagi dipegang kata-katanya maka akan hilang
identitasnya sebagai manusia yang dapat dipercaya oleh manusia lain.[15]
Oleh karena yang menentukan
perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat-istiadat dan
pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa. Maka dipandang
dari sumbernya, akhlak Islam bersifat tetap dan berlaku untuk selama-lamanya,
sedang moral dan etika berlaku selama masa tertentu di suatu tempat tertentu.
Konsekuensinya, akhlak Islam bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat
relatif (nisbi). [16] Perbedaan pengertian ini harus dipahami supaya
kita dapat membedakan sifat dan isi akhlak, moral dan etika, walaupun dalam
masyarakat ketiga istilah itu disinonimkan dan dipakai silih berganti untuk
menunjukkan sesuatu yang baik atau buruk. Sekarang sudah saatnya jika seorang
muslim lebih faham dalam menggunakan istilah yang tepat untuk penyebutan
tingkahlaku manusia.
C. Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami manusia
sekarang ini, tidak sedikit membawa dampak negatif terhadap sikap hidup dan
perilaku (moral dan akhlak) manusia itu sendiri, baik ia sebagai makhluk
individu maupun makhluk sosial.
Dampak negatif yang paling nyata terhadap kehidupan manusia atas
kemajuan tersebut adalah mewabahnya budaya materi. Hal ini ditandai dengan
meluasnya anggapan bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidup manusia
adalah kekayaan materi, sehingga mereka mengejar materi tanpa menghiraukan
nilai-nilai spiritual yang sangat berperan dalam memelihara dan mengendalikan
perilaku atau akhlak mereka. Nilai-nilai spiritual yang dimaksud adalah ajaran
agama yang berfungsi membina kepribadian manusia dalam kedudukannya sebagai
hamba Allah dan anggota masyarakat.
Pada kenyataannya budaya materi tidak dapat membawa manusia
mencapai kebahagiaan yang hakiki, bahkan justru membawa bencana dan kehancuran
bagi kehidupan manusia pada segala aspeknya, karena yang ada dalam budaya ini
adalah kerakusan dan egoisme yang menyebabkan hilangnya nilai-nilai luhur
seperti amanah, kasih sayang, tenggang rasa, batas kasih, dan lain sebagainya.
Bangsa Romawi dan Persia dahulu yang terkenal dengan ketinggian budayanya,
ternyata tidak memberikan jaminan mereka akan berbuat secara manusiawi terhadap
sesamanya, bahkan sebaliknya, karena yang mereka agungkan adalah budaya materi.
Belajar dari sejarah bangsa-bangsa tersebut, maka tidak bisa
dipungkiri bahwa keunggulan dan kehancuran umat ditentukan oleh akhlak yang
mereka miliki. Oleh karena itu, akhlak sangat penting dalam kehidupan manusia. [17]
Akhlak
menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. la dengan takwa, merupakan “buah"
pohon Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari'ah. Pentingnya
kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam
bentuk perkataan) Rasulullah.[18] Di
antaranya adalah,
"Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak" (H.R Ahmad); "Mukmin yang
paling sempurna imannya adalah orang yang palingbaik akhlaknya" (H.R.
Tarmizi).
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mulia karena
karunia yang diberikan Allah kepadanya berupa akal pikiran yang membedakannya
dengan makhluk-makhluk lainnya. [19]
Akhlak merupakan mutiara hidup yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Tanpa akhlak manusia akan kehilangan derajat kemanusiaannya
yang mulia dan akan turun ke derajat binatang, atau bahkan lebih rendah. Sebab
dengan potensi akalnya manusia bisa berbuat lebih hina dan lebih jahat daripada
binatang.
D. Sebab-Sebab
Terjadinya Akhlak Buruk dan Cara
Meperoleh Akhlak Terpuji.
Akhlak yang buruk sama halnya dengan penyakit-penyakit
lainnya, mempunyai beberapa sebab yang mendatangkannya serta faktor-faktor yang
menggerakkannya, di antara sebab-sebab itu adalah tabiat buruk manusia, pendidikan rumah yang
buruk, lingkungan dan sosial
kemasyarakatan yang tidak baik, perbuatan zalim, mengikuti nafsu syahwat,
kemarahan yang tidak pada tempatnya, kebodohan, kesombongan dengan kekuasaan
yang dimiliki, angkuh dengan kekayaan harta benda, ketenaran tapi jauh dari
mawas diri, lalai dari aib yang ada pada dirinya, kemauan yang lemah, sombong
dari menerima nasehat yang lurus dan kritikan yang membangun, bersahabat
dengan orang-orang yang tidak baik, dan minimnya rasa malu. [20]
Oleh sebab itu tidaklah disangsikan lagi bahwa yang paling
berat bagi tabiat manusia adalah merubah akhlak yang telah menjadi tabiat
jiwanya. Hanya saja hal itu bukan suatu yang tidak memungkinkan atau
mustahil. Ada beberapa sebab, ragam
saran dimana seseorang dengan bantuan hal tersebut dapat meraih akhlak yang
terpuji. Di antara hal-hal itu adalah:
1.
Luruskan Aqidah
Penyimpangan di
dalam tingkah laku kepribadian moralitas juga merupakan akibat dari kesalahan dalam
masalah aqidah. Aqidah sesungguhnya adalah keimanan, dan sebaik-baik iman
seorang mukmin adalah yang paling terpuji akhlaknya. Apabila aqidah telah
benar, maka akhlak akan menjadi baik mengikuti aqidah yang benar itu. Maka
aqidah yang shahih akan menuntun pelakunya kepada akhlak-akhlak yang mulia. [21]
Al-Ghazali
mengatakan: “Adab-adab yang zhahir merupakan tanda dari adab-adab yang batin,
tingkah laku dari perbuatan anggota tubuh adalah buah hasil dari hati. Dan
amalan adalah hasil dari akhlak. Dan adab merupakan rembesan pengetahuan, dan
rahasia-rahasia yang ada dibalik hali adalah perealisasian segala perbuatan dan
juga muaranya. Dan cahaya batin merupakan cahaya yang akan menyinari setiap
perilaku zhahir lalu menghiasinya, menampakkannya dan mengganti segala akhlak
yang buruk dengan akhlak-akhlak yang mulia. [22]
Demikian
menentukannya persoalan aqidah ini, maka sudah sepatutnya orang-orang yang
menyuarakan slogan perbaikan, mengedepankan perkara aqidah dari perkara-perkara
lainnya. Dikarenakan manusia apabila aqidah mereka telah benar maka jiwa mereka
akan suci, dan akhlak mereka akan lurus mengikuti aqidah itu.
2. Doa
Doa merupakan pintu
yang paling agung, apabila terbuka pintu tersebut bagi seorang hamba, maka
segala kebaikan akan mengucur tiada henti, dan segala berkah akan terlimpahkan
baginya.
Barang siapa yang
berkemauan untuk berhias dengan akhlak yang mulia, dan berkemauan untuk
berlepas dari akhlak yang buruk, maka segeralah dia menghadap kehadapan Rabbnya,
hendaknya dia menengadahkan telapak tangan ketundukannya, agar Allah memberi
rizki baginya berupa akhlak yang mulia, dan memalingkannya dari akhlak yang
buruk. Doa pada hal ini akan sangat bermanfaat dan juga pada hal yang lainnya.
Olehnya itu Nabi seringkali bermunajat kehadapan Rabb beliau meminta agar
diberi akhlak yang mulia. Dan beliau pada do'a al-iftitah mengucapkan:
“Wahai Allah
berilah aku petunjuk-Mu untuk meraih akhlak yang terpuji, yang tiada yang dapat
menunjuki kepada akhlak yang paling terpuji selain Engkau. Dan palingkanlah
dariku akhlak yang buruk, yang tiada yang dapat memalingkan dari akhlak yang
buruk selain Engkau”
Dan beliau bersabda :
“Wahai Allah sesungguhnya saya berlindung
kepada-Mu dari ketidak berdayaan, kemalasan, sifat pengecut, kebinasaan, sifat
kikir dan saya meminta perlindungan kepada-Mu dari adzab kubur dan dari fitnah
kehidupan dan kematian”. [23]
3. Bersungguh-sungguh
Bersungguh-sungguh sepanjang
hidup ini akan memberi manfaat yang sangat banyak. Hal itu dikarenakan akhlak
yang baik adalah bagian dari petunjuk hidayah yang seseorang akan dapat meraihnya
dengan kesungguhan.
“Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benarbenar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” ( Terjemahan QS. Al`Ankahut:
69)
Barang siapa yang
bersungguh-sungguh pada dirinya untuk berhias dengan akhlak-akhlak yang utama,
dan mengupayakan untuk berlepas dari akhlak-akhlak yang hina, maka dia akan
meraih kebaikan yang sangat banyak. Dan akan tertolak keburukan yang tiada
terhingga. Maka akhlak sebagaimana yang telah diterangkan di antaranya ada yang merupakan tabiat dasar dan fitrah, dan
ada pula yang dapat diupayakan dengan latihan dan pengalaman.
4. Muhasabah / koreksi
diri
Koreksi kepada diri
sendiri ketika melakukan suatu akhlak yang tercela, dan meniatkan agar tidak
lagi kembali kepada akhlak itu untuk yang kedua kalinya. Bersamaan itu juga
mengambil mula suatu pahala apabila dia membaguskan akhlaknya, dan mengambil
mula suatu siksa apabila dia mengabaikannya dan meremehkannya.[24]
Apabila akhlak
telah terpuji maka dia akan merasa lega, dan merasa lapang dan akan
mengantarkannya kepada kebaikan jiwa pada waktu-waktu yang diperbolehkan. Dan
apabila akhlaknya menjadi buruk dan menjadi rendah maka dia mengekangnya dan
bersungguh-sungguh mengatasinya dan mengharamkannya dari sebagian yang
diinginkan oleh akhlak tersebut.
Ibnu al-Muqaffi'
mengatakan: “Dan sebaiknya diri anda berjanji dengan sesuatu yang menjadikannya
sebagai pelaku kebaikan. Karena apabila anda melakukan hal itu segala kebaikan
akan mendatangi anda, mencarinya sebagaimana air bah yang mengalir mencari dataran
yang lebih rendah”[25]
DAFTAR
PUSTAKA
Abu ahmadi dan noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2008)
Asmaran AS. Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta ; PT
RajaGrafindo Persada, 1994)
Didiek
Ahmad Supadie Dkk., Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo
Persada, 2011)
H M.
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ;
Amzah, 2007)
Mohmmad
Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2011)
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, Akhlak-akhlak Buruk, Fenomena
Sebab-Sebab Terjadinya & cara Pengobatannya, (Bogor, Pustaka Darul
Ilmi, 2007)
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung : Pustaka setia,
2008)
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta : Bumi Aksara, 2011)
[1] Rosihan Anwar, Akidah
Akhlak, ( Bandung : Pustaka setia, 2008), h. 205
[2] Didiek Ahmad
Supadie Dkk., Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Rajagrafindo
Persada, 2011), h. 216
[3] Abu ahmadi dan
noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi,
(Jakarta ; Bumi Aksara, 2008), h. 198
[4] H M. Yatimin
Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AlQuran, (Jakarta ; Amzah,
2007),h. 3-4
[5] Asmaran AS. Pengantar Studi
Akhlak, (Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 3
[6] Didiek Ahmad
Supadie Dkk. Op Cit.,h.217
[7] Abu Ahmadi dan Noor
Salimi, Op Cit., h. 201-202
[8] Asmaran AS. Op
Cit h. 8
[9] Zainuddin Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), h. 29
[10] Asmaran AS. Op Cit h. 9
[11] Ibid.
[12] Rosihan Anwar, Op
Cit , h. 208
[13] Mohmmad Daud
Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), h. 354
[14] Zainuddin Ali, Op
Cit h. 31-32
[15] Ibid.,
h. 32
[16] S Mohmmad Daud
Ali, Op Cit.,h. 355
[18] Mohmmad Daud
Ali, Op Cit.,h. 348
[20] Muhammad bin
Ibrahim Al-Hamad, Akhlak-akhlak Buruk, Fenomena Sebab-Sebab Terjadinya &
cara Pengobatannya, (Bogor, Pustaka Darul Ilmi, 2007), h. 81-94
[21] Ibid.,h. 119
[22] Ibid.,
h. 120
[23] Ibid.,
h. 121-122
[24] Ibid.,
h. 123
[25] Ibid.,
h. 125
No comments:
Post a Comment