BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Islam Di Indonesia (1899-1930).
Pendidikan
Islam di Indonesia sebelum tahun 1900 masih bersifat halaqah ( nonklasikal ). Selain itu, madrasah-madrasah itu tidak
besar sehingga sekarang kita tidak menemukan sisa-sisanya. Ada satu pesantren
yang di ketahui berdiri sebelum tahun 1900, yaitu pesantren Tebuireng yang
didirikan K.H. Hasyim Asy’ari. Pesantren itu berdiri tahun 1899 dan sumber lain mengatakan, pesantren itu berdiri tahun 1904. Secara ittifaq (kesepakatan),
pesantren-pesantren yang klasikal dan masih eksis sampai sekarang lahir sekitar
awal tahun 1900.
Semenjak
Islam masuk ke Indonesia tentunya interaksi orang Timur-Tengah dengan orang
Indonesia, khususnya yang beragama Islam, bertambah baik. Terbukti tokoh-tokoh
umat Islam Indonesia yang mendirikan pesantren banyak alumni-alumni dari
Makkah. Bersamaan dengan naik haji, mereka bermukim untuk belajar sampai ada
yang bertahun-tahun. Interaksi Indonesia dengan Makkah membawa warna baru dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Misalnya pesantren Tebuireng Jombang di Jawa
Tengah didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tahun 1899, sekolah-sekolah produk
Muhammadiyah banyak di pengaruhi pendirinya K.H. Ahmad Dahlan, pesantren
al-Mushtafawiyah Purba Baru Tapanuli Selatan yang didirikan oleh Syaikh Mustafa
Husein tahun 1913, dan sebagainya.
Tampaknya
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang klasikal sampai tahun 1930 hanya
mengajarkan pelajaran agama, kecuali ada sebagian kecil yang mengajarkan
pelajaran umum, seperti pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Ilyas (1929)
memasukkan pelajaran-pelajaran berikut ini dalam kurikulum, yaitu: (1) membaca dan menulis huruf
latin, (2) bahasa Indonesia, (3) ilmu bumi dan sejarah Indonesia, dan
(4) berhitung.
Metodologi pengajaran masih lebih
didominasi oleh sistem sorogan, di
mana guru membaca buku yang berbahasa Arab dan menerangkannya dengan bahasa
daerah kemudian murid-murid mendengarkan. Guru sangat jarang bertanya kepada
muridnya, sebaliknya murid juga jarang bertanya kepada gurunya. Dengan kata
lain evaluasi belajar sangat kurang di perhatikan, hal ini diduga karena tujuan
belajarnya lillahi ta’ala. Tanpa
diuji juga murid secara sadar belajar dengan sungguh-sungguh. Mengetahui hasil
belajar secara eksplisit setelah mereka duduk di kelas 7. Tradisi kelas 7
membantu pengajaran untuk kelas-kelas bawah sebagai wujud praktikum dan
pengabdian terhadap lembaga.
Secara umum kurikulum pendidikan
Islam sampai tahun 1930 meliputi ilmu-ilmu : bahasa Arab dengan tata bahasanya,
fiqih, akidah, dan pendidikan.
2.2 Pendidikan
Islam di Indonesia (1931-1945)
Mulai
dari tahun 1931, lembaga pendidikan Islam Indonesia memasuki warna baru yang
oleh Mahmud Yunus disebut tahun di mana dimulainya modernisasi pendidikan Islam
di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan sebelumnya baru berinteraksi dengan
orang-orang Timur-Tengah baik yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan Islam
maupun orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu ke Makkah. Tidak diketahui
persis kapan orang Muslim Indonesia mulai berinteraksi dengan negara Mesir
dalam rangka menuntut ilmu. Namun dapat diketahui karena pengaruhnya tahun 1931
Mahmud Yunus telah memimpin KMI di Padang.
Normal Islam (Kulliah Mu’allimin
Islamiyah) yang didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang
tahun 1931 termasuk lembaga pendidikan modern yang banyak berpengaruh pada
perkembangan pendidikan Islam “modern” di Indonesia. Salah satu alumninya K.H.
Imam Zarkasyi pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa-Timur. Di
tahun 1936 pesantren Gontor sudah mengikuti kurikulum dan sistem pendidikan
Normal Islam (modern), di mana sebelumnya mereka masih “tradisional”.
Perkembangan pada popularitas Pondok Pesantren Gontor itu melebihi Normal Islam
sampai sekarang. Menurut K.H. Imam Zarkasyi, banyak pesantren atau lembaga
pendidikan Islam lainnya yang didalamnya termasuk Normal Islam tidak
memperhatikan kaderisasi. Di sinilah Gontor kokoh karena sistem kaderisasinya
kuat, sehingga kapanpun pendiri atau pimpinannya meninggal, sudah banyak yang
mampu menggantikannya. Sesungguhnya lembaga pendidikan mulai tahun 1931 sudah
banyak mengajarkan pengetahuan umum. Dan lembaga pendidikan Islam yang pertama
kali memasukkan pendidikan umum menjadi kurikulum sekolah adalah al-Jami’ah
Islamiah di Sungayang Batu Sangkar. Lembaga ini didirikan oleh Mahmud Yunus
Maret 1931. Persentase pengetahuan umum masih berkisar 30 %, 40%, dan 50% atau
lebih. Pengetahuan umum yangb dipelajari meliputi: berhitung dagang, aljabar,
ilmu ukur, ilmu alam/kimia, ilmu hayat/geologi, ekonomi, mengarang buku,
sejarah dunia/Islam, ilmu bumi atau falak, tata negara, bahasa Inggris/Belanda.
Selain itu umum ada juga ilmu mendidik dan mengajar, ilmu jiwa, dan ilmu
kesehatan.
Selain pengetahuan umum sebagai
pembaruan dalam periode ini, dalam beberapa hal juga ada pembaruan lainnya.
Dalam bidang metodologi, misalnya, Mahmud Yunus sudah menerapkan tariqah al-mubasyirah dalam belajar
bahasa Arab, dan metodologi pengajaran setiap bidang studi sangat variatif.
Adapun evaluasi sudah menjadi alat
ukur keberhasilan siswa. Artinya pada masa ini, khususnya lembaga pendidikan
Islam yang mengikuti pola Mahmud Yunus, tingkatan atau kelas ditentukan oleh
hasil evaluasi bukan berdasarkan tahun senioritas murid.
Lebih lanjut, Imama Zarkasyi
mengatakan, pengaruh pembaruan pada masa ini terhadap masyarakat, yakni wawasan
keislaman umat Islam semakin luas, pola pikir semakin rasional, alumni
pesantren dapat melanjutkan pendidikan ke universitas baik dalam maupun luar
negeri.
2.3 Sejarah
dan Dinamika Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Di Nusantara
1.
Surau
Istilah surau di Minagkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau
dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaumsebagai pelengkap
rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan
tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang
uzur. Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau
yang menganut sistem Matrilineal, menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua
mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Fungsi surau tidak berubah
setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang
diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada
masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan
Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat
(suluk).
Melalui pendekatan ajaran tarekat
(suluk) Sattariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat
Minangkabau. Dengan ajarannya yang menekankan kesederhanaan, tarekat Sattariyah
berkembang dengan pesat. Muridnya tidak hanya berasal dari Ulakan-Pariaman saja
melainkan juga berasal dari daerah-daerah lain di Minangkabau. Seperti Tuanku
Mansiang Nan Tuo yang mendirikan surau Paninjauan dan Tuanku Nan Kaciak yang
mendirikan surau di Koto Gadang. Sehingga pada akhirnya, murid-murid Syekh Burhanuddin tersebut memainkan
peranan yang sangat penting dalam pengembangan surau sebagai lembaga pendidikan
bagi generasi selanjutnya.
Sebagai lembaga pendidikan
tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di
seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlaq dan ibadah. Pada umumnya pendidikan
ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai
lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang surau pada era
ini, yaitu :
a. Pengajaran
Al-Qur’an. Untuk mempelajari Al-Qur’an ada dua macam tingkatan
1) Pendidikan
Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Qur’an dan membaca
Al-Qur’an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat
yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal, keimanan terutama yang
berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode
menghafal melalui lagu, dan akhlaq yang dilakukan dengan cerita nabi dan
orang-orang sholeh lainnya.
2) Pendidikan
Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, kasidah, barzanji, tajwid
dan kitab parukunan.
Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak
ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai
materi-materi di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah
menamatkan mempelajari Al-Qur’an dua atau tiga kali baru berhenti dari pengajaran
Al-Qur’an.
6
b. Pengajian
Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini
meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu
lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan
maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa
cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi
dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan pada jenjang ini biasanya
dilakukan pada siang maupun malam hari.
Metode pendidikan yang digunakan di
surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode
pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak
pada kemampuan menghafal muatan teoretis keilmuan. Sedangkan kelemahannya
terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain,
metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca
dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca
dan dihafalnya itu.
2. Meunasah
Meunasah
merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab
Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong
(kampung,desa). Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan
berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para
anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam
mapan di Aceh, meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu
gampong.
Meunasah
secara fisik, adalah bangunan rumah panggung yang dibuat pada setiap kampung,
setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan diketuai oleh keucik. Dalam meunasah
terdapat sumur, bak air, dan WC yang terletak berjarak dengan meunasah.
Biasanya meunasah terletak di pinggir jalan.
Di
antara fungsi meunasah itu adalah:
a. Sebagai
tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan penyaluran, tempat penyelesaian
tempat perkara agama, musyawarah dan penerima tamu.
b. Sebagai
lembaga pendidikan Islam di mana di ajarkan pelajaran membaca Al-Qur’an.
Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode
ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jum’at dipakai ibu-ibu
untuk shalat berjama’ah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh
seorang guru perempuan.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat
beribadah saja melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan,
bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama barang-barang yang tak
bergerak. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya dibawah
umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru.
Pendidikan
meusanah ini dipimpin oleh Teungku Meusanah. Pendidikan untuk anak perempuan
diberikan oleh teungku perempuan yang disebut Teungku Inong. Dalam memberikan
pendidikan pada anak-anak, Teungku Meusanah dibantu oleh beberapa orang muridnya
yang lebih cerdas yang disebut sida.
Lama pendidikan meusanah tidak ada
batas tertentu. Umumnya, pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh
tahun. Pengajaran umumnya berlangsung malam hari. Meteri pelajaran dimulai
dengan membaca Al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf
Hijaiah, seperti yang terdapat dalam buku Qaidah
Baghdadiyah, dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai huruf. Setelah
iru dilanjutkan dengan juz amma,
sambil menghafalkan surat-surat pendek. Setelah itu ditingkatkan kepada membaca
Al-Qur’an besar dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu, diajarkan pula pokok-pokok agama seperti
rukun iman, rukun Islam dan sifat-sifat tuhan. Selain itu, juga diajarkan rukun
sembahyang, rukun puasa serta zakat. Tak ketinggalan, pelajaran menyanyi juga
diajarkan,terutama yanyian yang berhubugan dengan agama yang dalam bahasa Aceh
disebut dike atau seulaweut (zikir atau selawat). Buku-buku pelajaran yang digunakan
adalah buku-buku yang berbahasa Melayu seperti kitab parukunan dan Risalah
Masail al-Muhtadin.
Belajar
di meusanah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para Teungku tidak diberi
gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun, biasanya Teungku mendapat hadiah
dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar Al-Qur’an sampai juz ke-15
atau pada saat khatam Al-Qur’an. Hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada waktu
upacara akad-akad niah, sunat rarul,pembagian harta warisan, perkara
perdata,pengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasehat-nasehan dan juga
dari zakat.
Keadaan meusanah sebagai lembaga
pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua
memasukan anaknya ke meusanah. Dengan kata lain, meusanah merupakan madrasah
wajib belajar bagi maasyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila orang aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
3. Pesantren
Menurut
asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya
tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko prasodjo, “pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di
mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama’ abad pertengahan, dan
para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.” Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang di sebut pesantren
tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur : kiai, santri, masjid
sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat
tinggal para santri serta kitab-kitabklasik sebagai sumber atau bahan
pelajaran.
a. Materi
pelajaran dan pengajaran.
Sebagai
lembaga pendidikan Islam, pesantren pada
dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajjian atau mata pelajarannya
ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji
di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu
kalam, fiqih dan ushul fiqih, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan
ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf.
Adapun
metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah:
1)
Metode
Wetonan, yakni suatu metode di mana para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab
masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu
tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat,
metode ini disebut dengan bandongan,
sedangkan di Sumatera disebut dengan halaqah.
2)
Metode
Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kiai
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode
sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode
pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan,
ketaatan dan disiplin pribadi santri/kendatipun demikian, metode ini diakui
paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorangdan ada kesempatan untuk
tanya jawab langsung.
3)
Metode
Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks
atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.
b. Jenjang
Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak
dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.
Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya
kitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya
kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi.
c. Fungsi
Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran
keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan
formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan nonformal. Sebagai
lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat
muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari
masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama
Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai
tempat belajar agama dan ibadah bagi para jama’ah
d. Kehidupan
Kiai dan Santri
Berdirinya
pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetap (bermukim) di suatu
tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya turut pula
bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan
bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini
memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh
gejolak ekonomi di luar.
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri
yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehinggga membedakan dengan
sistem pendidikan lainnya. Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan
pesantren, sebagai berikut.
1) Adanya
hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
2) Adanya
kepatuhan santri kepada kiai.
3) Hidup
hemat dan penuh kesederhanaan
4) Kemandirian
5) Jiwa
tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6) Kedisiplinan
7) Berani
menderita untuk mencapai suatu tujuan
8) Pemberian
ijazah.
3. Madrasah
Sejarah
dan perkembangan madrasah akan di bagi dalam dua periode yaitu:
a. Periode
Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan dan pengajaran agama Islam
dalam bentuk pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di
rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Pada perkembangan
selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi
pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga
melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan
mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan
dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang
bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah
pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam
(surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut
ilmu-ilmu umum.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di
Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu :
1) Gerakan
Pembaruan Islam di Indonesia
Gerakan pembaruan Islam di Indonesia
muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semagat
yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A Steenbrink dengan
mengidentifikasiempat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di
Indonesia, antara lain:
a. Keinginan
untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
b. Semangat
nasionalisme dalam melawan penjajah
c. Memperkuat
basis gerakan sosial, budaya dan politik.
d. Pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia
Bagi
tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek
yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh
karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam
yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang
selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.
2) Respons
Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda
Pertama kali bangsa Belanda datang ke
Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang
sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai
wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus dengan
mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu, Glory (kemenangan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan), dan Gospel (upaya salibisai terhadap umat Islam di Indonesia).
Mereka mendirikan lembaga pendidikan
baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain.
a. Madrasah
(Adabiyah School). Madrasah ini
didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang. Belum
cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang dan dipindahkan ke Padang. Pada
tahun 1915 madrasah ini mendapat pengakuan dari Belanda atau berubah menjadi Hollands Inlandsche School (HSI).
b. Sekolah
Agama (Madras School). Didirikan oleh Syaikh M.Thalib Umar di Sungayang,
Batusangkar pada tahun 1910. Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup
dengan alasan kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud Yunus mendirikan
Diniyah School sebagai kelanjutan dari Madras School.
c. Madrasah
Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah didirikan pada tanggal 10 Oktober
1915 oleh Zainuddin Labai El Yunusiy di Padang Panjang. Madrasah ini merupakan
madrasah sore yang tidak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi juga
pelajaran umum.
d. Madrasah
Muhammadiyah. Madrasah Muhammadiyah tidak diketahui berdirinya dengan pasti,
namun diperkirakan berdiri pada tahun 1918 yang didirikan oleh oleh organisasi
Muhammadiyah.
e. Arabiyah
School. Arabiyah School didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syaikh
Abbas.
b. Periode
Sesudah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 di bentuklah Departemen
Agama yang akan mengurus masalah keberagaman di Indonesia termasuk di dalamnya
pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, madrasah
walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas
pembinaan dan pengawasan.
Sungguh pun pendidikan Islam di
Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah panjang. Namun dirasakan, pendidikan masih tersisih dari sistem Pendidikan
Nasional.
2.4 Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di
Nusantara Pada Masa Awal Sampai Sebelum Kemerdekaan
Pemerintahan
kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem
persekolahan yang berkembang di dunia Barat, sedikit banyak memerangaruhi
sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal diketahuia bahwa
pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum
adanya kolonial Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolaannya
dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda. Hal
ini dapat dilihat dari terpecahnya dunia pendidikan di Indonesia pada abad
ke-20 M menjadi dua golongan, yaitu: 1. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah
barat yang sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, dan 2. Pendidikan yang
diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Dengan kata
lain menurut istilah Wirjosukarto yang dikutip oleh Muhaimin, pada periode
tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat pondok
pesantren dan corak baru dari perguruan sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Pemerintah Belanda.
Dengan
terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat berbeda, tentunya
tidak akan mendatangkan keuntungan bagi perkembangan masyarakat Indonesia bagi
masa yang akan datang, bahkan akanm merugikan masyarakat muslim sendiri. Di
suatu sisi dipandang perlu untuk mengetahui perkembangan dunia luar teknologi,
di sisi lain juga diperlukan adanya pemahaman keagamaan yang telah ditanamkan
jauh hari sebelum Belanda datang dengan pendidikan pesantren.
Dalam
hal ini muncul kesadaran dari pendidikan Islam ulama’-ulama’ yang pada waktu
itu juga menyadari bahwa sistem pendidikan tradisional dan langgar tidak lagi
sesuai dengan iklim pada masa itu. Maka dirasakanlah akan pentingnya memberikan
pendidikan secara teratur di madrasah atau sekolah secara teratur. Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha dengan pembaruan di bidang sosial dan kebudayaan
berdasarkan tradisi Islam Al-Qur’an dan Hadits yang dibangkitkan kembali dengan
menggunakan ilmu-ilmu barat. Adapun madrasah-madrasah yang didirikan di Indonesia :
1. Madrasah
Arabiyah School
2. Madrasah
Diniyah School
3. Madrasah
Muhammadiyah
4. Sumatera
Thawalib
5. Madrasah
Salafiyah
2.5 Pola dan Kebijakan Pemerintah Belanda
Sejak Awal Sampai Sebelum Kemerdekaan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa penjajahan Belanda selama 350 tahun dengan misi
kristensiasi dan westernisasi, dengan berbagai penindasan yang dilakukan
terhadap rakyat Indonesia dengan berbagai kebijakann politik yang sangat
merugikan bagsa Indonesia.Zainuddin Zuhri menggambarkan bahwa rakyat Indonesia
yang mayoritas Islam tidak memandangn orang-orang barat yang menjajah Indonesia
sebagai pembawa kemajuan dan teknologi, melainkan sebagai penakluk dan penjajah
dan imperialis. Dalam dada penjajah tersebut begitu kuat ajaran dari politikus
curang dan licik Machiavelli yang berisikan:
1. Agama
sangat diperlukan bagi penjajah.
2. Agama
dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.
3. Setiap
aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan digunakan
untuk memecah belah mereka dan mencari bantuan kepada pemerintah.
4. Janji
dengan rakyat tidak perlu ditepati jika merugikan.
5. Tujuan
dapat menghalalkan segala cara.
Inisiatif
untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi
adalah ketika Van Den Capellen menjabat sebagai gubernur jenderal memberikan
surat edaran yang ditujukan kepada para bupati yang isinya adalah : “Dianggap
penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin
meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka dapat
dengan mudah untuk dapat mentaati undang-undang dan hukum negara yang
ditetapkan Belanda.”
Dengan demikian jelas terlihat, meskipun Belanda mendirikan
lembaga pendidikan untuk kalangan pribumi tetapi semua adalah demi kepentingan
mereka semata. Politik yang dijalankan oleh pemerintahan Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasari oleh adanya
rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialisme
sehingga dengan begitu mereka menerapkan peraturan dan kebijakan seperti:
1. Pada
tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas
mengawasi beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Resterraden. Dari
nasihat badan inilah, maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan baru yang isinya bahwa orang yang mendirikan pengajaran atau
pengajian agama Islam harus terlebih dahulu kepada pemerintah Belanda.
2. Tahun
1925 ke luar bagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam
yaitu bahwa tidak semua orang kiai boleh memberikan pelajaran mengaji
terkecuali telah mendapat semacam rekomendasi dari pemerintahan Belanda.
3. Pada
tahun 1932 ke luar lagi peraturan yang isinya berupa wewenang untuk memberantas
dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izin, atau memberikan pelajaran
yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonasi Sekolah Luar
Wilde School Ordonantie.
Bisa
dilihat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial yang
demikian ketatnya, namun kenyataannya berbicara lain. Masyarakat Islam pada
waktu itu seperti air hujan atau air bah yang sulit bendung. Selanjutnya
mengenai kondisin pendidikan itu sendiri tumbuh dan berkembang sebagaimana
adanya, meskipun berbagai kebijaksanaan yang diterapkan pemerintahan Islam
sendiri pada zaman pemerintah kolonial Belanda.
1. Pendidikan
Islam sebelum tahun 1990
Pendidikan Islam pada masa ini
bercirikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pelajaran
diberikan satu demi satu.
b. Pelajaran
ilmu sharaf didahulukan dari ilmu nahwu.
c. Buku
pelajaran pada mulanya dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam
bahasa daerah setempat.
d. Kitap
yang digunakan pada umumnya ditulis tangan.
e. Pelajaran
suatu ilmu hanya diajarkan dalam satu macam buku saja.
f. Tokoh
buku belum ada, yang ada hanyalah menyalin buku dengan tulisan tangan.
g. Karena
terbatasnya bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit.
h. Belum
lahir aliran baru dalam Islam.
2. Pendidikan
Islam pada masa Peralihan
Dalam tahun 1905,
pemerintah mengaluarkan suatu peraturan yang mengharuskan pada guru agama Islam
memiliki izin khusus untuk mengajar kedudukannya tentang pendidikan Islam. Izin
ini mengemukakan secara terperinci saat pendidikan yang dilaksanakan, dan guru
agama yang bersangkutan secara periodik kepada kepala daerah yang bersangkutan.
Adapun ciri-ciri pelajaran agama Islam
pada masa peralihan ini berupa:
a. Pelajaran
untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus.
b. Pelajaran
ilmu Nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu Sharaf.
c. Buku
pelajaran semuanya karangan ulama Islam kuno dan dalam bahasa Arab.
d. Buku-buku
semuanya dicetak.
e. Suatu
ilmu diajarkan dari beberapa macam buku, rendah, menengah, dan tinggi.
f. Lahirnya
aliran baru dalam Islam seperti yang dibawa oleh majalah Al-Manar di mesir.
Pembaharuan
pendidikan Islam di indonesia dalam Deliar Noer yang dikutip oleh Hasbullah,
juga dipengaruhi oleh Syekh Taher jalaludin yang dianggap sebagai salah seorang
pembaru di Indonesia melalui majalah Al-Iman yang diterbitkan di singapura
tahun 1905 yang memuat mengilhami H.
Abdiul diterbitkan majalah Al-Munir di padang pada tahun 1911.
Dengan
demikian, pendidikan Islam pada masa peralihan dengan masa sebelum tahun 1900,
dimana kebijaksanaan pemerintah kolonial belanda terhadap Islam sedang
ketat-ketatnya, dan sedangkan gencar mempropragandakan pendidikan yang mereka
kelola, yang membedakan antara golongan pribumi dengan priyai atau pejabat
bukan yang beragama Kristen.
3. Pendidikan
Islam Sesudah Tahun 1909
Dengan tampilnya, Budi Utomo dengan isu
nasionalismenya pada tahun1908, yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa
perjuangan selama ini hanya mengandalkan kekuatan kedaerahan tanpa adanya
persatuan sehingga sulit mencapai kemerdekaan. Pada tahun 1926, diadakanlah
kongres Islam di Bogor, yang tidak mempersoalkan peraturan 1950 lagi, karena
telah diganti dengan peraturan baru, ordonasi guru 1925.
Sebagai contoh tentang formulir yang
bersangkutan semuanya ditulis dalam bahasa Belanda, padahal boleh dikatakan
hampir semua guru-guru agama tersebut hanya memahami bahasa sendiri dan bahasa
Arab. Peraturan tersebut mempunyai sifat yang luas yang dalam penerapannya
tidak terbatas di Pulau Jawa saja, tetapi juga diberlakukan di Aceh, Sumatera
Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok, sejak 1 Januari 1927.
Keberadaan peraturan tersebut sangat
merugikan, karena dipandang sebagai usaha dari pemerintah untuk menghambat
perkembangan pendidikan pada umumnya dan perkembangan pendidikan nasional
khususnya. Syarat-syarat yang harus ditempuh dalam peraturan ini tampaknya
sengaja ditujukan untuk lembaga-lembagayang bersifat kebangsaan. Maka orang
Indonesia pun berpendapat bahwa peraturan tersebut merupakan usaha mematikan
semangat nasional.
Dengan demikian, peraturan-peraturan
yang dikeluarkan pemerintahuntuk menghambat dan menghalang-halangi perkembangan
dan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Namun kenyataan berbicara lain,
untuk saat ini kita masih melihat keberadaan lembaga pendidikan yang makin
meningkat di tengah-tengah perkembangan dunia.
2.6 Kebijakan
Jepang dalam Bidang Pendidikan Islam
Misi
misonaris Belanda tidak hanya dilakukan lewat ekonomi tetapi juga dilakukan
lewat pendekatan pendidikan. Lembaga pendidikan dianggap sebagai sarana yang
paling efektif baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Setelah Belanda angkat kaki dari
bumi Indonesia, maka muncul pergerakan Jepang. Jepang tidak begitu ketatnya
terhadap pendidikan Islam di Indonesia, Jepang memberikan toleransi yang banyak
terhadap pendidikan Islam di Indonesia, kesetaraan pendidikan penduduk pribumi,
sama dengan penduduk atau anak-anak penguasa, bahkan Jepang banyak mengajarkan
imu-ilmu bela diri kepada pemuda Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang banyak
berdirinya lembaga-lembaga pendidikan dan pengajarkan serta pendirian
tempat-tempat ibadah lembaga-lembaga pendidikan dapat dikembangkan dan
anak-anak dibolehkan untuk belajar agama dan mengaji.
9
[17] Sudjoko Prasodjo, “Profil Pesantren”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001),
hlm. 104.
10
[19]Muhammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 149.
[21]Muhammad Daud Ali, Op. cit., hlm. 49.
[23]H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 1998), hlm. 94.
[24]Samsul Nizar, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan
Islam; Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), hlm. 75.
14
15
[26]Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas,
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 11.
[27]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1996). Hlm. 14.
16
[29]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999), hlm. 51.
18
19
[31]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Agung, 1985),hlm. 62.
[32]Mahmud Yunus, Op, cit, hlm. 58.
[33]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam.Op. cit, hlm. 58.
20
No comments:
Post a Comment