BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan secara bertahap melalui malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad saw yang lafaznya mengandung mukjizat, membacanya
mempunyai nilai ibadah dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushaf
dan dimulai dari surat Al-Fatihah dan berakhir pada surat An-Naas.
Sementara
Sunnah secara literal berarti jalan hidup (sirah) atau jalan (thariqah) yang
baik maupun yang buruk. Ibn Taimiyyah mengungkapkan bahwa sunnah adalah “adat
kebiasaan (al-‘adah) yakni jalan (thariqah) yang terus diulang-ulang oleh
beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah ataupun bukan ibadah”. Para
ulama mendefinisikan sunnah sebagai “sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi
pekerti. Kedua sumber islam itulah yang
menjadi pedoman hidup kita di dunia dan keduanya tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ulumul Qur’an
Istilah
“Ulumul Quran” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu
“Ulum” dan Al-Qur’an. Kata “Ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “ilm”, yang
berarti “ilmu-ilmu”. Istilah “ilm” merupakan bentuk masdhar ( kata kerja yang
dibendakan ) yang artinya pemahaman dan pengetahuan sesuai dengan makna
dasarnya, yaitu “Al-fahmu wa Al-idrak” (pemahaman dan pengetahunan). Kemudian,
pengertiannya dikembangkan pada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar
ilmiah. Kata “ilm”juga berarti “idrak Al-syai’ bi haqiqatih” ( mengetahui
sesuatau dengan sebenarnya).
Kata
“ulum” adalah bentuk jamak dari kata “ilm”, yang berasal dari kata dasar
“alima-ya’lamu-‘ilman”, yang berarti mendapatkan atau mengetahui sesuatu dengan
jelas, atau menjangkau sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya. Ia berasal dari
akar kata dengan huruf-huruf ‘ain, lam dan mim, yang berarti “asrun bi Al-syai
yatamayyazu bihi ‘an gairihi” (keunggulan yang menjadikan sesuatu berbeda
dengan yang lainnya), atau “sesuatu yang jelas”, “bekas” (hati, pikiran,
pekerjaan, tingkah laku dan karya-karyanya) sehingga sesuatu itu terlihat dan
diketahui sedemikian jelas, tanpa menimbulkan sedikit pun keraguan.
Ulumaul
Qur’an adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan
Al-Qur’an dari segi asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an),
pengumpulan dan pnerbitan Al-Qur’an, pengetahuan tentang surat-surat Makkiyah
dan Madaniyah, an-nasikh wal mansukh dan sebagainya.. ilmu ini dinamakan juga
dengan Ushul Al-Tafsir (dasar-dasar tafsir), karena yang dibahas berkaitan
dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seseorang musafir sebagai
sandaran dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Al-Qur’an
menurut ulama ushul fiqih dan ulama bahasa adalah Kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw yang lafaz-lafaznya mengandung mukjizat, membacanya
mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir dan yang ditulis pada
mushaf, mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat an-Nas, dengan demikian secara
bahasa, ‘Ulumulo Qur’an’ adalah ilmu-ilmu (pembahasan-pembahasan) yang
berkaitan dengan Al-Qur’an.
Adapun
definisi “Ulumul Qur’an secara istilah para ulama memberikan redaksi yang
berbeda-beda, sebagai berikut:
1. Menurut
Al-Qaththan
Ilmu
yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi
informasi tentang Asbab An-Nuzul, kodifikasi dan tertib penulisan Al-Qur’an,
ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
2. Menurut
Al-Zarqany
Beberapa
pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an, dari sisi turunnya, urutan
penulisan, kodifikasi, craa membaca, kemukjizatan, Nasikh, Mansukh, dan
penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya serta hal-hal
lain.
3. Menurut
Abu Syahbah
Sebuah
ilmu yang memilliki objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, mulai
proses penurunan, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran,
kemukjizatan, nAsikh, Mansukh, muhkam muntasyabih, sampai
pembahasan-pembahasan.
2.2 Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan secara bertahap melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw
yang lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah dengan
periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushaf dan dimulai dari surat
Al-Fatihah dan berakhir pada surat An-Naas.
2.3 Pengertian Sunnah
Sunnah
secara literal berarti jalan hidup (sirah) atau jalan (thariqah) yang baik
maupun yang buruk. Ibn Taimiyyah mengungkapkan bahwa sunnah adalah “adat
kebiasaan (al-‘adah) yakni jalan (thariqah) yang terus diulang-ulang oleh
beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah ataupun bukan ibadah”. Para
ulama mendefinisikan sunnah sebagai “sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi
pekerti.
2.4 Kedudukan dan fungsi Sunnah Sebagai Sumber Islam
1. Kedudukan Sunnah Sebagai Sumber
Islam
Sunnah
dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Dimana Sunnah merupakan
salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an akan sulit tanpa
Sunnah. Memakai Al-Qur’an tanpa mengambil Sunnah sebagai landasan hukum dan
pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al-Qur’an akan sulit
dipahami tanpa menggunakan Sunnah. Kaitannya dengan kedudukan Sunnah disamping
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama,
sedangkan Sunnah merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara
Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an
merupakan wahyu matlu ( langsung
berasal dari Allah) dan Sunnah wahyu
ghoiru matlu ( berasal dari Nabi).
Banyak
dalil qath’i yang menunjukkan bahwa
hadis merupakan sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai hujjah dalam agama,
baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’ ulama. Dalam nash Al-Qur’an, banyak
kita dapatkan ayat-ayat yang mengisyaratkan kehujjahan Sunnah, misalnya
ayat-ayat yang mengandung perintah patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, menerima
semua yang bersumber dari Rasul, dan pasrah dengan hukum yang telah ditetapkan
oleh beliau.
2.
Fungsi
Sunnah Sebagai Sumber Islam
Tidak semua ayat Al-Qur’an itu dipahami secara tekstual. Al-Qur’an menekankan
bahwa rasulullah saw memiliki tugas untuk menjelaskan maksud dan tujuan firman-firman
Allah. Sunnah memiliki hubungan yang sangat erat sekali dengan Al-Qur’an,
bahkan sulit dibayangkan Al-Qur’an berjalan tanpa sunnah. Kenyataan memang
menunjukkan bahwa di kolong langit ini tak seorang muslim pun yang dapat
mengamalkan Al-Qur’an tanpa merujuk pada sunnah, dan tidak ada orang yang
membicarakan sunnah tanpa menyinggung Al-Qur’an.
Seperti diinformasikan Al-Qur’an, surat Al-Maidah ayat 67, tugas
utama dan pertama Nabi Muhammad SAW adalah menyampaikan Al-Qur’an secara
keseluruhan. Namun, sekalipun demikian tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW
bukanlah seperti petugas pos yang hanya mementingkan sampaiannya surat ke
alamat yang dituju tanpa peduli tahu isinya, melainkan juga dibebani tugas
untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an dan sekaligus mempraktekkan
ajaran-ajarannya.
2.5 Pengertian Tafsir
Tafsir berasal
dari bahasa Arab, yaitu fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti
penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti
al-idlab wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain
mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan). Kata taf’il
diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf
yang berarti membuka atau menyingkap dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah,
yaitu istilah yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selanjutnya,
pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Al-Qur’an tampil dalam formasi
yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani misalnya, beliau mengatakan
bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya,
baik konteks historinya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan
atau keterangan yang dapat merujuk kepada makna yang dikehendaki secara terang
dan jelas. Sementara itu, Imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang membhas kandungan Al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti
sesuai yang dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya,
menurut Abu Hayan sebagaimana dikutip oleh Al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir
adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengungkapkan
lafal-lafal Al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk
mengetahui kandungan kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, humum serta hikmah
yang terkandung di dalamnya.
2.6 Latar Belakang
Penelitian Tafsir Al-Qur’an
Dilihat dari segi
usianya, penafsiran Al-Qur’an termasuk yang paling tua dibandingkan dengan
kegiatan ilmiah lainnya dalam Islam. Pada saat Al-Qur’an diturunkan lima belas
abad yang lau, Rasulullah saw, yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada
sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
sama artinya. Keadaan ini berlangsung smapai dengan wafatnya Rasulullah,
walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui,
sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena
memang Rasul saw sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur’an.
Kalau pada masa
Rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada
beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya
mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Ubay
bin Ka’ba dan Ibn Mas’ud.
Sementara itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an
ke[ada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) yang
telah memeluk agama Islam.
2.7 Model-model Penelitian Tafsir
Dalam kajian kepustakaan dapat
dijumpai berbagai hasil peneletian para pakar Al-Qur’an terhadap produk tafsir
yang dilakukan generasi terdahulu. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa
model penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan para ulama tafsir, sebagai berikut.
1. Model
Quraish Shihab
H.M.
Quraish Shihab (lahir tahun 1944)-pakar di bidang Tafsir dan Hadits se-Asia
Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagaia karya ulama
terdahulu di bidang tafsir. Model peneletian tafsir yang dikembangkan oleh H.M.
Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin
produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai
literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama
tafsir yang bersangkutan, maupun ulama yang lainnya. Data-data yang dihasilkan
dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap serta
dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategoris dan perbandingan.
2.
Model Ahmad Al-Syarbashi
Menurutnya,
tafsir pada zaman Rasulullah SAW, pada awal masa pertumbuhan islam disusun
pendek dan tampak ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat
itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-Qur’an.
Pada
masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa arab yang murni tadi mengalami
kerusakan akibat percampuran masyarakat arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu
ketika pemeluk islam berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk memelihara
keutuhan bahasanya, orang-orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa arab
seperti ilmu nahwu (gramatika) dan balaghah (retorika)[1].
2.8
Bagaimana Memahami
As-Sunnah
A. Pemahaman
Sahabat Mengenai Sunnah
Sahabat
adalah orang yang berjumpa dengan nabi muhammad SAW dalam keadaan beriman, dan
ketika meninggal dunia masih dalam keadaan islam. Adapula yang mengatakan
sahabat adalah orang yang bertemu dan hidup bersama rasulullah SAW minimal
setahun lamanya. Pendapat ini berdasarkan ta’rif sahabat yang dikemukakan oleh Sa’id
Ibn Musayyab, yaitu orang yang bertemu dan berperang bersama nabi atau
ditetapkan lama pergaulannya dengan nabi setahun atau dua tahun. Jadi, intinya
ialah bertemu dengan nabi dalam keadaan beriman dan hidup bergaul bersamanya.
Untuk
mengetahui apakah seseorang termasuk sahabat atau tidak diperlukan adanya salah
satu keterangan berikut:
1. Ditentukan
oleh kabar mutawattir.
2. Ditetapkan
dengan kabar mashur atau mustafid.
3. Diakui
oleh seorang sahabat lain tentang kesahabatannya.
4. Keterangan
seorang tabi’in yang siqah, bahwa orang tersebut sebagai sahabat.
5. Pengakuan sendiri oleh orang yang adil bahwa
ia sahabat, dengan syarat tidak lebih dari 100 tahun semenjak wafatnya nabi.
Selanjutnya
pemahaman terhadap sunnah sedikit banyak dipengaruhi oleh keadaan pribadi dan
kecerdasan akal pikirannya. Namun secara umum pemahaman mereka terhadap sunnah
dapat dijamin kebenarannya, karena mereka memandang nabi sebagai idola, dan
mereka juga yakin bahwa ucapan nabi mengandung makna yang dalam, dan semuanya mengandung
kebenaran[2].
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan secara bertahap melalui malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad saw yang lafaznya mengandung mukjizat, membacanya
mempunyai nilai ibadah dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushaf
dan dimulai dari surat Al-Fatihah dan berakhir pada surat An-Naas.
Sementara
Sunnah secara literal berarti jalan hidup (sirah) atau jalan (thariqah) yang
baik maupun yang buruk. Ibn Taimiyyah mengungkapkan bahwa sunnah adalah “adat
kebiasaan (al-‘adah) yakni jalan (thariqah) yang terus diulang-ulang oleh
beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah ataupun bukan ibadah”. Para
ulama mendefinisikan sunnah sebagai “sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi
pekerti. Kedua sumber islam itulah yang
menjadi pedoman hidup kita di dunia dan keduanya tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Dr. Abuddin, AL-QUR’AN
DAN HADITS, Jakarta:PT Grafindo Persada, 2000
Nata, Dr. Abuddin, Metodologi STUDI ISLAM, Jakarta:PT
Grafindo Persada, 2004
No comments:
Post a Comment